Biaya hidup yang meroket bukan hanya masalah bagi Sri Lanka. Beberapa negara lain di Asia, seperti India dan Pakistan, juga sedang berjuang melawan lonjakan inflasi.
Situasinya sangat genting di Sri Lanka, karena negara itu sangat bergantung pada impor luar negeri untuk memberi makan penduduknya. Industri susu di negara itu, misalnya, tidak dapat memenuhi permintaan lokal sehingga mengimpor susu bubuk.
Namun di pasar induk sayur-mayur di Kolombo, puluhan pemilik toko menjual banyak persediaan wortel, bit, daun kari, dan sayuran lainnya. Banyak pembeli secara terbuka mengeluh tentang harga yang melonjak dan menawar habis-habisan untuk mendapatkan harga yang lebih murah atau membeli dalam jumlah yang sangat terbatas.
"Dengan gaji bulanan kami saat ini, kami hanya bisa bertahan selama dua minggu karena harga-harga naik. Kami tidak punya harapan untuk masa depan. Harga beras juga naik. Ada antrean panjang di luar toko-toko milik pemerintah," kata salah satu pembeli bernama Swarna.
Pemintaan tinggi terhadap beberapa bahan makanan pokok membuat harga makanan Sri Lanka meningkat dengan rekor 21,1% bulan lalu, dibandingkan dengan waktu yang sama di tahun sebelumnya.
Sementara itu, kenaikan 12,5% harga susu bubuk membuat asosiasi pemilik kafe memutuskan untuk menghentikan penjualan menu populer, seperti teh susu. Mereka mengatakan teh susu hanya akan ditawarkan sesuai permintaan, dengan harga yang lebih tinggi.
"Warga Sri Lanka cukup sensitif terhadap inflasi harga pangan. Kami melihat sudah ada banyak sentimen negatif terkait kendala tersebut," kata Deshal de Mel, ekonom lembaga Verité Research.
"Menurut saya, hal itu mungkin mendekati titik yang tidak bisa toleransi jika kenaikan harga ini terus terjadi," ujarnya.
(Feby Novalius)