JAKARTA - JHT menjadi polemik karena baru bisa dicairkan saat usia peserta memasuki masa pensiun di 56 tahun. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia pun menduga ada yang tidak beres atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022.
Serikat Pekerja menilai BPJS Ketenagakerjaan tidak professional dalam mengelola dana nasabahnya.
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menilai, ada kemungkinan BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta.
Baca Juga: JHT Bisa Dicairkan Usia 56 Tahun, Ini Aturan Lengkapnya
"Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan."Kata Mirah dalam keterangan resminya, Minggu (13/2/2021)
Menurutnya, tidak ada alasan untuk menahan uang pekerja, karena Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan itu adalah dana milik nasabah yaitu pekerja, bukan milik pemerintah.
Komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Baca Juga: Jeritan Buruh: Banyak Korban PHK Butuh JHT untuk Menyambung Hidup
"Pemerintah jangan semena-mena menahan hak pekerja! Karena faktanya, banyak korban PHK dengan berbagai penyebabnya, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja." Terangnya
Mirah mencontohkan pekerja yang putus hubungan kerja di usia 40 tahun, harus menunggu 16 tahun untuk bisa mencairkan hak atas JHT. Padahal pekerja tersebut sudah berhenti membayar iuran.
"Kenapa harus ditahan dan menunggu sampai usia 56 tahun? Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan baru, seharusnya dana JHT bisa dipergunakan untuk modal usaha," tegasnya.