JAKARTA - Rupiah membukukan pelemahan lima hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah melemah 0,27% ke Rp 14.957/USD pada pekan lalu.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pergerakan rupiah di level tersebut bukan pertanda baik.
"Rupiah yang bergerak dikisaran Rp15.000 per dolar sebenarnya bukan pertanda baik, meski terlihat stabil dalam satu minggu terakhir namun ada beberapa dampak," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Senin (11/7/2022).
BACA JUGA:Rupiah Menguat Tipis di Level Rp14.926/USD
Bhima menjelaskan, sebelum rupiah melemah ke Rp15.000/USD harga beberapa bahan baku industri khususnya makanan minuman (mamin) sudah mengalami kenaikan seperti gandum, gula, hingga minyak nabati.
Sehingga jika ditambah pelemahan kurs tentu bebannya menjadi ganda.
Lanjutnya, sementara pelaku mamin sedang menunggu momen tepat untuk naikkan harga retail karena tidak semua kelompok masyarakat siap meski kenaikan harga hanya 5% - 7%.
"Contohnya kelompok menengah bawah, kalau harga naik maka bisa bergeser ke produk pesaing atau bahkan mengurangi pembelian. Target penjualan bisa turun," jelasnya.
Dia menerangkan beban pembiayaan utang luar negeri swasta dan pemerintah akibat adanya selisih kurs tetap tinggi.
Ditambah Fed rate makin agresif naikkan suku bunga, maka akan mengakibatkan cost of fund naik dan tidak menutup kemungkinan sektor swasta akan rem ekspansi.
"Jika rupiah belum bisa turun di level Rp14.300 per dollar maka tekanan terhadap swasta yang berlanjut akan mempengaruhi laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga, dan kesempatan kerja," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)