JAKARTA - Rafael Alun Trisambodo (RAT), PNS pajak eselon III mempunyai harta kekayaan Rp56,1 miliar. Kekayaan ini mengundang tanda tanya buntut kasus sang anak, Mario Dandy yang menjadi tersangka pengeroyokan putra pengurus GP Ansor.
Kini Rafael Alun Trisambodo dicopot dari jabatannya.
Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono, mustahil jika seorang pejabat eselon III memiliki kekayaan sebanyak itu dari penghasilnnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Dirinya mengatakan, terdapat tiga sudut pandang hukum jika melihat fenomena tersebut. Pertama, dilihat dari hukum administrasi sesuai UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Kedua dilihat dari hukum administrasi Pajak Penghasilan sesuai UU Nomor 7/1983 beserta perubahannya atau UU PPh. Serta ketiga dilihat dari hukum pidana korupsi sesuai UU Nomor 31/1999 dan UU Nomor 20/2001 atau UU Tipikor.
BACA JUGA:Sri Mulyani Copot Pejabat Pajak Rafael, Wapres: Tindakan Bu Menteri Sudah Benar
Prianto menuturkan, dari sudut UU ASN, konsep PNS merupakan pengabdian. Hal ini pula yang sempat dinyatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) terdahulu, Tjahjo Kumolo, bahwa karena PNS merupakan sebuah pengabdian, penghasilannya relatif kecil.
"Untuk itu, jika oknum tersebut hanya mengandalkan penghasilannya sebagai PNS, secara matematis, kekayaan senilai Rp56 miliar mustahil berasal dari penghasilannya sebagai PNS pajak," jelasnya kepada MNC Portal Indonesia, Jumat (24/2/2023).
Dia berpendapat sejatinya bahwa bonus berupa tunjangan kinerja tidak akan pernah mencukupi untuk mendapatkan kekayaan hingga Rp56 miliar.
Lebih lanjut, dari sisi UU PPh, konsep penghasilan berasal dari konsep tambahan (accretion concept) yang dihitung berdasarkan rumus penghasilan = konsumsi + tambahan harta.
Berdasarkan sudut pandang UU PPh, beleid ini tidak melihat apakah penghasilan tersebut berasal dari transaksi legal atau ilegal. Hal yang terpenting adalah ketika tambahan harta tidak sebanding dengan penghasilan seseorang, ada PPh yang belum disetorkan ke kas negara.
Kemudian, dari sisi UU Tipikor, perlu digali lebih lanjut penambahan kekayaan PNS pajak tersebut berasal dari sumber penghasilan yang melawan hukum atau tidak. Dalam hal ini, aparat penegak hukum punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan melalui pendekatan asset tracing atau pendekatan lainnya.
"Jika ada penambahan harta yang bersumber dari kegiatan melawan hukum bagi oknum pegawai pajak, modus operandinya biasanya berupa 'kongkalikong' dengan wajib pajak. Secara sederhana, hubungan mutualisme sering terjadi di keduanya," katanya.
Prianto mencontohkan, misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak sebesar Rp1 miliar. Namun dengan bantuan oknum petugas pajak yang melawan hukum, pembayaran pajak ke kas negara dapat dikecilkan menjadi Rp400 juta.
Lalu, oknum petugas pajak tersebut mendapat 'ucapan terima kasih' dari wajib pajak misalnya 50% dari penghematan pajak senilai Rp600 juta. Artinya, oknum petugas pajak tersebut bisa mengantongi Rp300 juta dari tindakan melawan hukum.
"Dengan demikian, wajib pajak pun dapat menghemat pajak secara ilegal sebesar Rp300 juta," jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan kasus yang menyeret salah satu pegawai pajak, Rafael Alun Trisambodo menjadi momentum pihaknya untuk mendalami lagi terkait identifikasi secara dini potensi-potensi ketidakpatuhan dalam lingkup Kementerian Keuangan,
"Kalau selama ini kita telah melakukan analisis ini adalah momentum mendalami lagi bagaimana kita dapat mengidentfiikasi secara diri potensi ketidakpatuhan karena itu evaluasi akan dilakukan untuk dilihat bahwa analisis bukan hanya sekedar kelengkapan administratif saja namun juga evaluasi menyeluruh mengenai sumber harta dan jugakewajaran," jelasnya saat konferesi pers di Kantor Ditjen Pajak.
(Dani Jumadil Akhir)