JAKARTA - Indonesia sedang gencar mendorong penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai sumber energi ke depannya. Transisi energi dari fosil ke EBT pun menjadi fokus pemerintah.
Sumber EBT di Indonesia pun sangat banyak, mulai dari sinar matahari, air, panas bumi dan lainnya. Namun bagi investor, bisnis EBT mana yang bisa cuan di Indonesia?
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, ini tentu menjadi tantangan serius bagi pelaku industri EBT, tak terkecuali geothermal. Apalagi bisnis transisi energi dari fosil ke EBT masih tergolong anyar.
Baca Juga: Intip Potensi Cuan dari Ekspansi Pertamina Geothermal Energy
Ada pandangan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Seperti dalam Perpres 112 Tahun 2022 dinyatakan harga listrik PLTA dengan kapasitas 20 MW - 50 MW, harga patokan tertingginya senilai 8,86 sen/kWh. Sedangkan untuk harga listrik PLTP kapasitas 10 - 50 MW, harganya 9,41 sen/kWh.
Baca Juga: Groundbreaking PLTA Mentarang Rp40 Triliun, Jokowi: 7 Tahun Akan Selesai
"PLTP sejatinya harus dibangun di dekat sumber panas bumi, berbeda dengan PLTU yang menggunakan batu bara, di mana tambangnya bisa beratus kilometer dari lokasi pembangkit," tuturnya, Kamis (2/3/2023).
Hingga saat ini juga belum ada metodologi yang baku sebagai standar tunggal mengenai cara pendataan cadangan sumber daya pada industri panas bumi, termasuk soal diperkirakan, dicatat dan disertifikasi.
“Jadi penentuan cadangan sumber daya panas bumi betul bersifat probabilitas atau kemungkinan, sehingga tidak terdapat jaminan bahwa data cadangan sumber daya panas bumi perseroan dapat mencerminkan hasil aktual yang dimiliki perseroan secara akurat,” jelasnya.
(Feby Novalius)