KABAR Terbaru adalah akan segera tutupnya semua gerai toko buku legendaris Gunung Agung. Secara permanen toko buku ini akan menutup seluruh gerainya pada akhir 2023. Tidak ayal, sekitar 350 pekerjanya akan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Apa makna dari tutupnya Toko Buku Gunung Agung? Disrubsi dunia digital makin menggila. Toko buku konvesional harus menanggungnya. Mereka harus menanggung kerugian, yang akhirnya tidak sanggup bertahan. Kondisi ini bisa terjadi akibat beberapa faktor.
Pertama, manajemen tidak mengantisipasi sedari awal mengenai perubahan bisnis di tengah disrubsi digital. Lini digital tidak sempat mereka persiapkan secara serius dan matang. Kedua, perubahan lifestyle anak-anak generasi sekarang. Bisa jadi mereka akan mencari lokasi toko buku yang bisa menyatu dengan suasana hangout. Mereka bisa jadi makin malas ke toko buku yang di dalamnya hanya berjajar buku-buku saja. Di sini penting kreativitas mengenai tata letak dan juga kombinasi dengan kepentingan lifestyle generasi sekarang.
Ketiga, makin menjamurnya toko buku online. Kondisi ini tidak terlepas dari poin satu terkait disrubsi dunia digital. Bahkan saat ini penerbit buku pun tidak harus memajang bukunya di etalase toko buku. Mereka sudah bisa menawarkan langsung ke calon pembacanya lewat marketplace atau bisa juga lewat toko onlinenya. Mereka menerbitkan dan menawarkan sendiri bukunya. Keuntungan penerbitan bukunya pun tidak perlu dibagi dengan toko buku. Versi penerbitan bukunya makin variatif, tidak lagi harus bentuk fisik, melainkan sudah masuk ke e-book.
Keempat, ini yang mengkhawatirkan. Ada kencenderungan generasi sekarang makin malas untuk membaca buku yang memang memerlukan konsentrasi dan juga memerlukan waktu khusus. Waktu anak-anak generasi sekarang sepertinya makin terdistrect dengan media sosial dan aktivitas digital di internet. Tidak hanya sampai di situ, dengan gawai mereka, seakan mudah untuk menemukan referensi di mesin pencari.
Memang poin keempat ini masih harus dilakukan penelitian lebih mendalam. Hal ini pantas untuk diajukan ke pemerhati pendidikan, apakah generasi sekarang ini minat bacanya berkurang, ataukah minat bacanya tinggi tapi kualitasnya yang berkurang? Kenapa demikian, karena sekarang ini di era media sosial dan internet, mereka akan mencari informasi atau referensi dari internet yang kadang informasinya pendek dan tidak lengkap. Minat baca mereka masih tinggi, tapi kualitas bacanya yang menurun. Hanya referensi yang pendek dan cenderung tidak lengkap yang mereka tangkap. Mereka seakan enggan untuk mengupas lebih dalam dan detail dengan membuka versi buku fisik maupun e-Book.
Jika melihat kelebihan dunia digital saat ini sebenarnya justru memudahkan mereka untuk mendapatkan sumber referensi lebih cepat dan bisa datang dari penjuru dunia. E-book dan jurnal, bisa diakses dari seluruh penjuru dunia. Referensi dari luar negeri yang dulu sangat sulit didapatkan, kini ada dalam genggaman. Tetapi behaviour media sosial yang serba instan dan pendek, membuat mereka enggan untuk mengupas materi yang mendalam dan detail.
Sekali lagi, merujuk pada tutupnya sejumlah toko buku, termasuk yang terakhir adalah Gunung Agung, maka bagi pengelola toko buku yang masih tersisa, dapat mencari jalan keluar agar tetap bertahap di tengah gempuran disrubsi digital. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan harus kembali menggalakan budaya membaca. Tidak harus melalui offline, tapi bisa membaca lewat dunia online. Kampanye mari membaca buku harus digalakan kembali. Jangan sampai kekhawatiran penurunan minat baca dan kualitas baca menjadi kebenaran. Kita masih menginginkan generasi muda Tanah Air tetap genius dan gemar membaca.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)