JAKARTA - Industri alas kaki Tanah Air menjadi sorotan setelah tutupnya pabrik sepatu Bata. Pertumbuhan industri ini pun dinilai terus menurun.
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengakui bahwa industri alas kaki belum pulih sejak pandemi Covid-19. Kondisi sekarang masih belum mampu kembali ke level normal.
“Walaupun belum sampai tembus 75%, tapi itu sudah bagus. Tetapi begitu selesai Lebaran 2023, kita masuk bulan Juli 2023, itu sudah mulai datar perdagangan. Itu kita sudah mewanti-wanti,” kata Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri, dikutip dari BBC Indonesia, Jumat (10/5/2024).
Meskipun penjualan sempat meningkat pada Lebaran 2023, Lebaran tahun ini penjualan mengalami penurunan hingga 20%-30%.
Hal ini kemudian, berdampak pada permintaan karena para pengusaha sepatu harus bersaing dengan kebutuhan-kebutuhan pokok yang naik harga.
“Masyarakat menabung THR untuk beli beras. Takutnya beras naik atau mereka masih simpan. Mereka enggak mau belanja yang aneh-aneh. Karena takutnya harga pangan naik,“ ujarnya.
Menurut Firman, permasalahan utama terletak pada aturan pembatasan impor bahan baku yang diberlakukan pemerintah. Dirinya menyebut tarif impor yang tinggi membuat produsen dalam negeri sulit bersaing dengan harga-harga produk asing.
“Setidaknya untuk pelaku-pelaku yang berpotensi meningkatkan ekonomi nasional, menyerap tenaga kerja, seharusnya diberikan kemudahan untuk bahan baku.
“Pemerintah juga harus memikirkan bahan baku yang kompetitif untuk industri kita supaya bisa bersaing baik di tingkat domestik maupun di tingkat global,” kata Firman.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, pelarangan dan pembatasan impor bersifat merugikan bagi sektor yang harus mengimpor bahan baku dari luar negeri untuk memproduksi barang, salah satunya industri alas kaki.
“Bukannya diberikan insentif, tapi justru diberikan beban. Jadi ini masuknya ke biaya regulasi bagi mereka. Yang akan meningkatkan biaya input dari industri ini sendiri,” kata Andry.
Industri alas kaki masuk ke dalam kategori padat karya, yang artinya industri tersebut menyerap tenaga kerja manusia yang besar. Ketika industri semacam itu mulai lesu, maka banyak orang berpotensi kehilangan pekerjaan.
Oleh karena itu, dirinya menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang regulasi tersebut dengan melibatkan pihak pengusaha dan asosiasi terkait. Jika tidak, Andry mengatakan pertumbuhan ekonomi negara berpotensi melambat dibandingkan tahun lalu.
”Karena kita tahu di awal tahun, industri sudah mulai tertekan dengan adanya belanja komoditas. Sekarang sudah mulai tertekan juga dengan Permendag.
”Ini yang menurut saya seharusnya pemerintah sadar, bahwa kebijakan untuk pelarangan impor ini sama saja mematikan industri,” tegasnya.
Namun demikian, Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif menilai tidak ada hubungan penutupan pabrik PT Sepatu Bata dengan kenaikan tarif impor.
"Kenaikan tarif impor lebih disebabkan karena penguatan Dollar AS dan bukan karena pemberlakuan lartas bahan baku impor," kata Febri.