Apa dan siapa penerima manfaat Tapera?
Merujuk pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat disebutkan manfaat dana Tapera bisa digunakan untuk pembiayaan:
- Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan tenor hingga 30 tahun, suku bunga 5%, cicilan tetap sampai lunas, dan uang muka 0%.
- Kredit Bangun Rumah (KBR) dengan suku bunga 5%, cicilan tetap sampai lunas, dan jangka waktu maksimal 15 tahun.
- Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan suku bunga 5%, cicilan tetap, dan jangka waktu 5 tahun.
Akan tetapi, manfaat dari Tapera hanya bisa dirasakan oleh:
- Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
- Belum memiliki rumah dan/atau
- Menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama
- Mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan
Dalam aturan juga tertulis MBR adalah mereka yang bergaji maksimum Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan khusus wilayah Papua dan Papua Barat.
Adapun bagi pekerja non-MBR dan tetap menjadi peserta namun tidak mendapatkan fasilitas KPR, KBR, dan KRR berhak atas pengembalian pokok tabungan beserta hasil pemupukannya.
Apakah program Tapera rasional?
Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menyebut program Tapera sesungguhnya tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau.
Pertama, merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% maka mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran.
Kalaupun ada, kata Jehansyah, lokasi rumahnya "tidak terjangkau" alias jauh dari kota.
"Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah," ucap Jehansyah dilansir BBC Indonesia.
"Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter."
"Di Ciseeng (Bogor) saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau."
Kedua, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru.
Di banyak negara, ungkapnya, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.
Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya.
Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.
"Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance."
"Contoh di Soreang (Bandung), ada lahan 300 hektare tapi tidak ada satu pun proyek (hunian) pemerintah. Semua dikerjakan pengembang swasta, padahal jalan tolnya dibangun pemerintah."
"Selain itu harus jelas juga Tapera ini punya pengalaman tidak dari sisi pembangunan rumah dan pengembangan kawasan atau kota baru. Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan."
Ketiga, kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta – jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik.
Namun, kata Jehansyah, hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah.
"Untuk kota metropolitan, mengatasi backlog dan permukiman kumuh di tengah kurangnya ruang terbuka hijau harus membangun rusunawa rasa apartemen minimal kayak Rusunawa Jatinegara Barat, itu harus diperbanyak."
"Ini kan enggak ada hunian TOD yang sewa murah."
Menurut Jehansyah, pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai penipuan.
Sebab bagaimanapun, katanya, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat.
Kewajiban itu, sambung Jehansyah, tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 -di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dia mencontohkan Singapura yang berhasil menyediakan perumahan untuk pekerjanya karena 80% proyek hunian di sana dikuasai oleh pemerintah setempat.
"Jadi enggak ada itu istilah gotong royong, karena kita sudah melakukan itu dengan membayar pajak."
"Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus."