Bagaimana respons pekerja?
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita SIlaban, mengatakan buruh dan pengusaha tidak dilibatkan dalam pembahasan Tapera.
Karenanya mereka menolak kebijakan tersebut. Pasalnya selain tidak dilibatkan, tidak ada satupun perwakilan buruh maupun pengusaha dalam kepengurusan Badan Pengelola (BP) Tapera.
Selain itu, penolakan juga didasarkan lantaran aturan Tapera tumpang tindih.
Program serupa juga telah ada di BPJS ketenagakerjaan dalam bentuk program Jaminan Hari Tua (JHT).
"Kalau pernah terlibat, pasti tidak sekeras ini atau meminta ada revisi atau menolak. Kami iuran sampai 58 tahun di mana rumahnya? Di mana lahannya? ujar Rosita dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/05) seperti dilansir Detik.com.
KSBSI, sambungnya, mempertimbangkan untuk melayangkan judicial review ke Mahkamah Agung jika tak kunjung direvisi.
Uji peraturan akan menyasar Pasal 7 yang berisi kewajiban melakukan iuran. Menurutnya, kalau Tapera menggunakan konsep tabungan maka harusnya bersifat sukarela, bukan dipaksakan.
Senada dengan KSBSI, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani telah menyampaikan keberatan pada tahun 2016 lalu sebelum UU nomor 4 tahun 2021 disahkan.
"Kami sudah menyurati presiden, memberikan pandangan kami, masukan kami, namun sampai Peraturan Pemerintah (PP 21/2024) ini diterbitkan, belum ada tanggapan ya. Mungkin pemerintah punya sikap tersendiri kenapa harus jalan. Makanya kami pikir mungkin perlu klarifikasi," ujarnya.
Tapera dikritik warganet
Kehadiran kebijakan teranyar pemerintah yakni Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menuai polemik.
Di media sosial X, warganet menyebut kebijakan ini hanya memberatkan pekerja karena lagi-lagi gaji mereka harus dipotong sebesar 2,5%-3% di luar pajak penghasilan.
"Bayangin aja, ada karyawan gajinya Rp10 juta, lalu dipotong pajak penghasilan atau biasa disebut dengan PPh 21sebesar 2%, BPJS kesehatan 1%, BPJS Ketenagakerjaan 2%, jaminan hari tua 1%, terus bakal nambah Tapera 2,5%," sebut akun @ribkadel.
"Belum apa-apa sudah kepotong 8,5% alias Rp850.000 ditambah anggaplah Rp500.000 sebagai potongan PPN belanja kalian. Tiap bulan sudah kerja sampai nangis, ehhh hilang gitu aja," sambungnya.
Mantan Menkopolhukam Mahfud MD juga ikut berkomentar. Dia bilang, pemerintah perlu betul-betul mempertimbangkan suara publik terkait Tapera.
"Kalau tidak ada jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung, maka hitungan matematisnya memang tidak masuk akal," ucap Mahfud MD.
Kesan Tapera tidak rasional pun, diutarakan selebritas @solehsolihun yang menyebut bahwa perlu waktu 100 tahun bagi pekerja bergaji Rp10 juta untuk mendapatkan rumah.
"Kalau gaji Rp10 juta per bulan, dipotong Tapera 3%, maka setahun terkumpul Rp3,6 juta. Jadinya 100 tahun menabung akhirnya bisa deh dapat rumah yang harganya Rp360 juta. Ngitungnya gitu gak sih?"
Komika @kikysaputrii bahkan menyebut Tapera sebagai tabungan penderitaan rakyat.
(Dani Jumadil Akhir)