40% Harta Karun Panas Bumi Ada di Indonesia, Sudah Dioptimalkan?

Saskia Adelina Ananda, Jurnalis
Kamis 13 Juni 2024 10:31 WIB
40% Harta Karun Panas Bumi Ada di Indonesia (Foto: Kementerian ESDM)
Share :

Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 118,74/kWh atau sekitar 8,60 % dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021 - 2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing - masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW.

"Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET," ujarnya.

Relatif sama dengan RUPTL 2021 – 2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama.

Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya. Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing-masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.

Dia menilai, relatif belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya.

Berdasarkan review terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya: Risiko kegagalan eksplorasi; risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; hambatan regulasi dan tatakelola (PJBL, TKDN, perizinan, kepemilikan aset, ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang), kebutuhan modal awal yang cukup besar, durasi pengembangan relatif lama; dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal.

"Permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama dengan permasalahan yang dihadapi di Indonesia. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan,: katanya.

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya