Dia menambahkan, power wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.
"Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil," katanya.
Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
"Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN," katanya.
Penerapan power wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, power wheeling dinilai berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara.
"Dengan memperhatikan berbagai perspektif ini, kebijakan power wheeling sebaiknya ditinjau kembali agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir, demi menjaga kestabilan dan ketahanan energi nasional serta melindungi kepentingan ekonomi negara dan masyarakat," katanya.
(Dani Jumadil Akhir)