Sama halnya data BPS dari 502 HSCODE tahun 2022 terkait produk perikanan, sepanjang Januari-Agustus 2024, total impor perikanan mencapai USD 315,51 juta. Di saat yang sama, ekspor perikanan Indonesia senilai USD 3,73 miliar.
"Dengan surplus perdagangan sebesar USD 3,41 miliar, ini menunjukkan bahwa meskipun ada impor, Indonesia tetap merupakan eksportir netto di sektor perikanan," urai Budi.
Adapun ekspor perikanan terbesar Indonesia meliputi udang (USD 1,03 miliar) dan tuna-cakalang-tongkol (USD 651,59 juta). Merujuk surplus neraca perdagangan tersebut, Budi menekankan impor perikanan yang dilakukan pelaku usaha ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik industri dan pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Jenis ikan yang diimpor diantaranya salmon-trout (USD 47,27 juta), makarel (USD 38,33 juta), rajungan jenis tertentu (USD 38,13 juta), dan cod (USD 23,31 juta).
Negara asal impor adalah Tiongkok sebesar USD 49,97 juta (menurun 50,81%), Norwegia sebesar USD 31,41 juta, Amerika Serikat sebesar USD 26,43 juta, Korea Selatan sebesar USD 22,25 juta, dan Jepang sebesar USD 15,45.
"Salmon-trout, misalnya, tidak memiliki substitusi lokal dan dibutuhkan oleh industri pengolahan tujuan ekspor dan kebutuhan horeka," terang Budi.
Karenanya, Budi memastikan penurunan impor makarel yang cukup signifikan (-60,81%) menunjukkan ketergantungan terhadap beberapa jenis ikan impor bisa menurun. Selain itu, pada periode Januari-Agustus 2024, nilai impor produk perikanan menurun sebesar 30,0% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023.
"Di tahun 2024, Pemerintah tidak memberikan alokasi tambahan untuk impor ikan makarel (salem/ scomber japonicus ) mengingat pasokan dari produksi dalam negeri mencukupi," tutup Budi.
(Feby Novalius)