PT Vale Indonesia di Sorowako, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu contoh. Perusahaan ini tidak hanya menjaga kebersihan Sungai Matano yang menjadi sumber PLTA, tetapi juga mengembangkan persemaian modern seluas 2,5 hektare untuk memproduksi hingga 700.000 bibit tanaman per tahun. Tanaman lokal seperti eboni dan dengen menjadi prioritas, sejalan dengan prinsip no net loss dan restorasi habitat.
Langkah serupa juga dilakukan Antam dengan mendukung agenda Net Zero Emission 2060 melalui program ESG yang menyentuh langsung isu-isu keberlanjutan.
Inalum juga aktif merehabilitasi kawasan strategis Danau Toba sebagai bentuk komitmen terhadap konservasi air dan keanekaragaman hayati. Total area reklamasi pascatambang MIND ID Group mencapai lebih dari 7.000 hektare per tahun 2024.
PTBA melalui konservasi terumbu karang di Pulau Pahawang, Lampung, serta reklamasi 2.146 hektare lahan tambang di 2022.
Sedangkan PT Timah Tbk (TINS) menanam lebih dari 18.000 pohon mangrove dan mengembangkan Kampoeng Reklamasi sebagai destinasi ekowisata di Bangka.
“BUMN tambang kini jadi wajah baru sektor ini. Mereka menunjukkan bahwa pertambangan hijau bukan jargon, tapi sebuah keharusan,” ujar Ferdy.
Ferdy mengingatkan, amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945 menghendaki pembangunan ekonomi berkelanjutan yang memprioritaskan lingkungan hidup. Karena itu, pertambangan harus dijalankan dengan tanggung jawab, demi memastikan keberlanjutan sumber daya dan masa depan ekonomi Indonesia.
“Jika perusahaan ingin sustain, maka mereka harus menjaga alam. Tanpa itu, tambang hanya akan jadi kutukan, bukan berkah,” pungkasnya.
(Taufik Fajar)