JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan merilis aturan baru soal pajak emas. Dengan aturan ini  pembelian emas batangan oleh konsumen akhir tidak lagi dikenakan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
Namun, pemerintah menetapkan pembelian emas oleh bullion bank dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,25 persen yang mulai berlaku per 1 Agustus 2025.
Aturan pajak emas ini tertuang dalam dua regulasi baru, yakni PMK Nomor 51 Tahun 2025 dan PMK Nomor 52 Tahun 2025, yang ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 25 Juli 2025 dan berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025.
Berikut ini Okezone rangkum fakta-fakta aturan baru pajak emas, Jakarta, Senin (4/8/2025).
1. Aturan Pajak Emas
Lewat aturan baru PMK 51 Tahun 2025, pemerintah menunjuk lembaga jasa keuangan (LJK) bulion sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan sebesar 0,25 persen dari nilai pembelian, di luar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Namun, untuk transaksi dengan nilai maksimal Rp10 juta, dikecualikan dari pemungutan.
Skema SKB atas impor emas batangan juga dihapus, sehingga pembelian melalui impor kini dipungut PPh Pasal 22 dengan skema yang sama seperti pembelian dalam negeri.
“Beban lembaga jasa keuangan akan berkurang dengan diturunkannya tarif PPh Pasal 22 dari yang semula 1,5 persen ke 0,25 persen,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto.
2. Bebas Pajak Emas
Selanjutnya, dalam PMK 52 Tahun 2025, pemerintah mengatur pengecualian dalam pungutan PPh Pasal 22 atas transaksi emas. Pungutan PPh Pasal 22 tidak dilakukan atas penjualan emas perhiasan atau emas batangan kepada tiga kelompok, yaitu konsumen akhir, wajib pajak UMKM dengan PPh final, serta wajib pajak yang memiliki SKB PPh 22.
Pengecualian serupa juga berlaku untuk penjualan emas batangan kepada Bank Indonesia, melalui pasar fisik emas digital, dan kepada LJK bulion.
“Ada pengecualian. Kalau konsumen akhir, tidak dipungut. Antam itu kan jual ke konsumen akhir, ibu rumah tangga, atau lainnya. Tapi, yang dipungut kepada pedagang atau pabrikan,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama.
Namun, pembelian emas batangan oleh konsumen akhir dari Bank Bulion tidak dikenakan PPh Pasal 22.
Sementara itu, PMK-52 tahun 2025 mengatur bahwa penjualan emas batangan oleh pengusaha emas atau pabrikan kepada konsumen akhir juga dibebaskan dari pungutan PPh Pasal 22.
Ketentuan ini berlaku pula untuk wajib pajak UMKM dengan PPh final, wajib pajak dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22, penjualan kepada Bank Indonesia, penjualan melalui pasar fisik emas digital, serta penjualan kepada LJK Bulion.
Untuk penjualan emas batangan oleh masyarakat ke LJK Bulion, transaksi hingga Rp10 juta tidak dipungut PPh Pasal 22.
Namun, bila nilai transaksi lebih dari Rp10 juta, LJK Bulion wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen dari harga pembelian. Yoga menegaskan bahwa ketentuan baru ini bukanlah pajak baru, melainkan bentuk penyesuaian regulasi agar tidak terjadi pengenaan ganda.
“DJP akan terus melakukan penyesuaian regulasi perpajakan sesuai dinamika sektor keuangan, termasuk kegiatan usaha bulion dan emas batangan,” katanya.
3. Alasan Aturan Pajak Emas Diterbitkan
Kehadiran dua PMK itu bertujuan untuk menghindari risiko saling pungut dalam transaksi emas oleh bullion bank atau bank emas.
Sebelumnya, belum ada pengaturan yang secara spesifik mengenai pemungutan PPh 22 atas kegiatan usaha bulion, sehingga pelaksanaannya mengacu pada PMK 48 Tahun 2023 dan PMK 81 Tahun 2024.
Namun, ketentuan dalam kedua PMK itu menyebabkan kondisi saling pungut, di mana penjual emas memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen atas penjualan kepada bullion bank (PMK 48 Tahun 2023) dan bulion memungut PPh 22 sebesar 1,5 persen atas pembelian pada transaksi yang sama (PMK 81 Tahun 2024).
Selain itu, terdapat ketentuan Surat Keterangan Bebas (SKB) atas impor emas batangan, yang menimbulkan ketidaksetaraan antara pembelian emas batangan di dalam negeri dan melalui impor.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, aturan pajak emas bertujuan menyederhanakan regulasi, menghapus tumpang tindih aturan, dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha emas maupun konsumen.
“Sebelumnya, penjual emas memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen atas penjualan kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Bulion, sementara LJK Bulion sebagai pembeli juga memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5 persen atas pembelian yang sama. Ketentuan baru ini menghilangkan potensi tumpang tindih,” ujar Yoga.
4. Penjelasan Lengkap Aturan Pajak Emas
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 52 Tahun 2025 yang mengatur ketentuan pajak penjualan emas batangan, perhiasan, serta operasional bullion bank. Aturan ini berlaku efektif 1 Agustus 2025.
Adapun PMK ini dirancang untuk menciptakan kepastian hukum, memberikan kemudahan administrasi, dan mendukung perkembangan ekosistem perdagangan emas di Indonesia.
"Peraturan ini disusun untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi perpajakan atas penjualan emas batangan dan/atau perhiasan, termasuk dalam rangka kegiatan bullion bank," tulis beleid tersebut, dikutip Kamis (31/7/2025).
Salah satu poin penting dalam PMK ini adalah pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penjualan emas batangan dan/atau perhiasan kepada pihak-pihak tertentu.
"Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 tidak dilakukan atas penjualan emas batangan dan/atau perhiasan oleh pengusaha emas kepada konsumen akhir, wajib pajak UMKM yang dikenai PPh final, Bank Indonesia, pasar fisik emas digital, serta lembaga jasa keuangan bullion yang berizin OJK," bunyi pasal dalam aturan tersebut.
Menariknya, untuk mendapatkan pengecualian ini, konsumen akhir dan pihak-pihak yang disebutkan tidak perlu lagi mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB).
"Pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 bagi konsumen akhir, Bank Indonesia, pasar fisik emas digital, dan lembaga jasa keuangan bullion berizin OJK tidak memerlukan Surat Keterangan Bebas," tulis PMK 52/2025.
Dengan diberlakukannya regulasi ini, pemerintah berharap ekosistem perdagangan emas, termasuk operasional bullion bank, dapat berjalan lebih efisien tanpa mengabaikan kewajiban perpajakan. Aturan ini menjadi salah satu upaya mendorong Indonesia menjadi pusat perdagangan emas yang terintegrasi secara global.
(Dani Jumadil Akhir)