JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan pentingnya reformasi pendidikan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan daya saing nasional, terutama di tengah dinamika perubahan global yang kian cepat.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan Berkelanjutan Kadin Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam hal kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Salah satu indikator yang paling mencolok adalah masih tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi.
"Masih banyak terjadi kesenjangan antara lulusan pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Fenomena pengangguran terdidik terus terjadi. Pada 2023, tercatat lebih dari 842 ribu lulusan diploma dan sarjana yang menganggur. Hal ini menunjukkan adanya competency gap yang serius," kata Shinta, Kamis (25/9/2025).
Shinta juga mengkritisi persepsi yang berkembang di masyarakat terkait sekolah berstandar global. Menurutnya, kualitas pendidikan tidak ditentukan semata oleh penggunaan kurikulum asing, tetapi oleh kompetensi guru, relevansi kurikulum, serta sistem asesmen yang kredibel.
Lebih lanjut, ia menyoroti rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia, yang mana berdasarkan data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), produktivitas Indonesia hanya mencapai sepertiga dari rata-rata negara anggota organisasi tersebut.
“Selain jumlah tenaga kerja yang besar, kita juga perlu memastikan kualitas dan produktivitas mereka agar mampu bersaing secara global,” ujarnya.
Shinta juga mengingatkan bahwa transformasi digital dan Revolusi Industri 4.0 menuntut keterampilan baru yang lebih kompleks. Tanpa pembaruan sistem pendidikan, jutaan pekerjaan berisiko tergantikan oleh otomatisasi.
“McKinsey Global Institute memperkirakan pada 2030, hingga 23 juta pekerjaan di Indonesia akan terotomatisasi jika tenaga kerja tidak dilengkapi keterampilan baru. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah, tetapi juga dunia usaha, akademisi, dan masyarakat,” tegas Shinta.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI, Stella Christie, menegaskan pentingnya mengarahkan perguruan tinggi di Indonesia menjadi research university.
“Kita harus bisa melihat apa sebenarnya data-data yang menunjukkan hubungan langsung antara pendidikan tinggi dan pertumbuhan ekonomi. Universitas berbasis riset itulah yang menghasilkan inovasi baru. Misalnya, Stanford University mampu menciptakan nilai ekonomi hingga 3 triliun dolar AS per tahun,” jelas Stella.
Ia menambahkan bahwa pemerintah telah memetakan riset unggulan di berbagai universitas untuk mendorong kolaborasi yang lebih konkret dengan dunia industri.
“Kami sudah membangun sistem yang memungkinkan siapa pun mencari topik riset tertentu dan langsung mengetahui peneliti serta universitas terkait. Dengan begitu, kolaborasi antara industri, pemerintah, dan akademisi dapat lebih cepat terwujud,” tambahnya.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Fajar Riza Ul Haq, menekankan bahwa transformasi pendidikan tidak melulu soal pergantian kurikulum.
“Biasanya orang selalu bersorak, ganti menteri ganti kurikulum. Tetapi kami ingin memperkuat bagaimana guru mengajarkan kurikulum itu. Kompetensi abad ke-21 bukan soal seberapa banyak materi yang diajarkan, tetapi bagaimana cara dan alasan materi itu diajarkan,” jelas Fajar.
Ia juga menekankan pentingnya membangun pola pikir dan budaya belajar sejak usia dini agar perubahan dalam sistem pendidikan dapat berjalan secara berkelanjutan dan berdampak nyata.
“Kurikulum bisa berubah, tetapi jika guru sebagai penggerak utama tidak memahami cara mengajarkan, maka tidak akan ada maknanya,” tegasnya.
(Feby Novalius)