Purbaya Kritik OJK dan BI: Alat Ukur Likuiditas Perbankan Selama Ini Salah

Anggie Ariesta, Jurnalis
Sabtu 18 Oktober 2025 16:01 WIB
Menkeu Purbaya menekankan bahwa upaya perbaikan sistem keuangan nasional harus didasarkan pada kondisi riil. (Foto: Okezone.com/MPI)
Share :

JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti perbedaan antara kondisi likuiditas perbankan di atas kertas dan kenyataan di lapangan. Purbaya mengkritik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menyatakan likuiditas bank dalam kondisi "ample" atau berlebih, padahal kondisi riil di lapangan tidak sepenuhnya mencerminkan hal tersebut.

“Kalau Anda tanya OJK, selalu bilang ample, dari zaman dulu juga begitu. Dari zaman Agustus, ample banyak duit, tapi uangnya di BI,” kata Purbaya, Sabtu (18/10/2025).

Menurut Purbaya, penempatan dana pemerintah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) justru didorong karena kondisi lapangan menunjukkan masih adanya kebutuhan likuiditas di daerah.

Contohnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa meminta agar pemerintah pusat menempatkan dana di BPD Jawa Timur untuk kemudian disalurkan ke bank-bank lain di wilayah tersebut dengan bunga yang lebih kompetitif.

“Kalau saya ngomong dengan bank daerahnya, waktu itu saya ketemu Bu Khofifah. Mereka minta emang bisa nggak ke kami, karena dari situ akan disalurkan ke bank-bank BPD lain di Jawa Timur, dengan bunga murah yang mereka suka,” jelasnya.

Oleh karena itu, Purbaya mengkritik OJK dan lembaga lain yang perlu memperbarui alat ukur untuk menilai likuiditas perbankan agar lebih akurat mencerminkan kondisi di lapangan.

Bahkan, Purbaya mengaku sudah sejak lama mendorong pembaruan indikator dalam forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

“Bacaan bahwa kondisi bank banyak duit sudah terjadi setiap tahun, dari 2020 sampai sekarang. Tapi kalau lihat datanya, ke bank susah, tight. Jadi mesti dilihat lagi alat ukur yang pas untuk melihat kondisi likuiditas yang real,” katanya.

Purbaya menyebut indikator yang umum digunakan saat ini seperti AL per NCD atau AL per DPK tidak cukup mencerminkan kondisi sebenarnya di sektor keuangan.

 

Karena itu, ia meminta lembaga terkait mengembangkan sistem pengukuran baru yang bisa berfungsi sebagai early warning system terhadap potensi tekanan likuiditas.

“Dulu waktu di KSSK saya selalu bilang coba deh, alat likuid per NCD, alat likuid per DPK, itu hitungannya bagus semua. Tapi kenyataannya beda di lapangan. Artinya alat ukurnya salah,” tegasnya.

Purbaya menambahkan, upaya pengembangan sistem pengawasan likuiditas yang lebih adaptif sebenarnya sudah ia usulkan dalam beberapa rapat KSSK sebelum menjabat sebagai Menteri Keuangan.

“Sudah pernah saya ajukan waktu di rapat KSSK beberapa waktu lalu, malah beberapa kali. Sekarang saya minta mereka belajar lebih dalam untuk melihat alat-alat yang bisa melihat kondisi pasar finansial dengan benar dan in advance. Jadi semacam early indicator, early warning system. Di sistem finansial kita belum punya itu,” ujar Purbaya.

Purbaya menekankan bahwa upaya perbaikan sistem keuangan nasional harus didasarkan pada kondisi riil, bukan sekadar asumsi di atas kertas.

“Kalau saya punya, tapi buat saya sendiri doang, nanti mereka nggak bayar,” selorohnya sambil tertawa.

(Feby Novalius)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya