5 Fakta Kenaikan UMP 2026, Buruh vs Pengusaha

Dani Jumadil Akhir, Jurnalis
Minggu 21 Desember 2025 08:01 WIB
5 Fakta Kenaikan UMP 2026, Buruh vs Pengusaha (Foto: BRI)
Share :

JAKARTA - Buruh dan pengusaha buka suara soal formula baru kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Pengupahan. Buruh dengan tegas menolak aturan UMP 2026, sementara pengusaha menghormati dan memberi catatan.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, penolakan ini lantaran buruh tidak dilibatkan dalam proses penyusunan PP Pengupahan secara sungguh-sungguh dalam pembahasan substansi aturan.

“Buruh tidak pernah diajak berdiskusi untuk merumuskan PP Pengupahan ini. Yang terjadi hanyalah sosialisasi sepihak, itu pun hanya satu kali di Dewan Pengupahan. Tidak ada dialog, tidak ada pembahasan mendalam,” tegas Said Iqbal dalam konferensi pers, Rabu (17/12/2025).

Berikut ini Okezone rangkum fakta-fakta formula baru kenaikan UMP 2026 yang ditolak buruh, Jakarta, Minggu (21/12/2025).

1. Buruh Tolak Aturan Kenaikan UMP 2026

Said Iqbal menyebut bahwa hingga saat ini isi lengkap PP Pengupahan tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada serikat pekerja. Sosialisasi yang diklaim pemerintah hanya dilakukan satu kali, yakni pada 3 November 2025, tanpa ruang untuk perdebatan substantif ataupun perbaikan bersama.

Lebih jauh, KSPI menilai terdapat indikasi kuat bahwa isi PP tersebut justru menurunkan standar perlindungan upah, terutama melalui perubahan definisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Padahal menurutnya, KHL seharusnya tetap mengacu pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 yang menetapkan 64 item kebutuhan hidup layak, mencakup kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya.

“Pemerintah seolah membuat definisi KHL versi baru secara sepihak. Ini sangat berbahaya karena KHL adalah fondasi utama pengupahan,” ujarnya.

KSPI, kata Said Iqbal juga mempertanyakan metodologi penghitungan yang digunakan pemerintah. Dia menilai, jika pemerintah mengklaim menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), maka seharusnya rujukan utama adalah Survei Biaya Hidup (SBH), yang selama ini menjadi dasar objektif penghitungan KHL.

"Namun dalam praktiknya, SBH tidak dijadikan acuan utama, sehingga membuka ruang manipulasi angka dan melemahkan posisi buruh dalam penetapan upah minimum," lanjutnya.

Terkait isu indeks tertentu dalam rentang 0,5–0,9, KSPI menegaskan bahwa angka 0,9 merupakan batas tertinggi dan satu-satunya nilai yang masih dapat diterima buruh. KSPI sebelumnya telah mengajukan empat opsi indeks, dengan rentang 0,7–0,9.

“Karena itu sikap KSPI jelas, kami akan memperjuangkan indeks tertentu 0,9. Di bawah itu, upah buruh tidak akan mampu mengejar kenaikan harga kebutuhan hidup,” tegas Said Iqbal.

 

2. Pengusaha Buka Suara soal UMP 2026

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyatakan menghormati penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang akan menjadi dasar penetapan upah minimum tahun 2026.

“Dunia usaha berharap para gubernur dapat menjalankan kewenangannya secara bijak dan bertanggung jawab, serta menjauhkan penetapan upah minimum dari dinamika politisasi,” ujar Shinta dalam keterangannya yang diterima di Jakarta.

Shinta menyampaikan penentuan besaran upah minimum daerah perlu mempertimbangkan secara menyeluruh kondisi perekonomian dan daya saing daerah.

Selain itu, Shinta juga berharap agar penetapan upah minimum mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja, angka pengangguran, struktur industri, serta keberlangsungan usaha.

“Dengan demikian, kebijakan pengupahan benar-benar mendukung penciptaan dan keberlanjutan lapangan kerja formal di Indonesia,” ujar Shinta.

Dunia usaha, kata dia lagi, mendorong agar penggunaan nilai Alfa (α) dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Jika daerah dengan rasio upah minimum lebih dari KHL (kebutuhan hidup layak), maka rentang Alfa (α) yang digunakan adalah 0,1 hingga 0,3.

Sedangkan, kata Shinta lagi, jika rasio upah minimum kurang dari KHL maka rentang Alfa (α) yang digunakan dapat lebih tinggi, yaitu 0,3 hingga 0,5.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin menilai penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan perlu dibarengi dengan kebijakan pendukung khususnya peningkatan produktivitas tenaga kerja dan pemberian insentif investasi, sehingga tidak menahan laju pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.

Saleh mengatakan PP Pengupahan berpotensi mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan melalui peningkatan daya beli pekerja industri, namun efek positifnya cenderung bertahap dan tidak langsung. Di sisi lain, imbas kenaikan biaya produksi bersifat lebih cepat dan langsung dirasakan oleh pelaku industri.

Karena itu, menurut Saleh, agar pertumbuhan 2026 tetap terjaga, kebijakan pengupahan harus berjalan seiring dengan peningkatan produktivitas, insentif investasi, dan penguatan rantai pasok domestik.

"Tanpa kebijakan pendukung yang kuat, seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja, insentif investasi industri, dan penguatan rantai pasok domestik, pertumbuhan sektor industri nonmigas ke depan berisiko bergerak lebih lambat dibandingkan potensinya," ujarnya.

3. Penjelasan Kemnaker

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan bahwa penyusunan PP ini telah melewati rangkaian kajian mendalam dan pembahasan panjang sebelum akhirnya dilaporkan kepada Presiden. Salah satu poin krusial dalam aturan ini adalah penetapan formula penghitungan upah yang baru serta perluasan rentang angka indeks tertentu atau Alfa.

“Setelah memperhatikan masukan dan aspirasi dari berbagai pihak, khususnya dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh, akhirnya Bapak Presiden memutuskan formula kenaikan upah sebesar Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa) dengan rentang Alfa 0,5-0,9,” tulis Kemnaker dalam keterangan resminya, Rabu (17/12/2025).

Nilai Alfa merupakan variabel yang merepresentasikan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dalam PP terbaru ini, rentang Alfa ditetapkan sebesar 0,5 hingga 0,9. Angka ini naik signifikan dibandingkan aturan sebelumnya yang hanya mematok nilai Alfa pada kisaran 0,1 hingga 0,3.

Perubahan formula ini menandai pergeseran metode penetapan upah dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai informasi, pada tahun 2025, pemerintah menetapkan kenaikan UMP secara serentak sebesar 6,5 persen di seluruh wilayah Indonesia. 

Untuk tahun 2026, penghitungan akan kembali merujuk pada variabel ekonomi masing-masing daerah dengan formula yang telah diperbarui.

Terbitnya PP Pengupahan ini juga disebut sebagai langkah nyata pemerintah dalam mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/2023. Proses penghitungan teknis kenaikan upah nantinya akan dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah. 

Hasil penghitungan tersebut kemudian disampaikan sebagai rekomendasi kepada Gubernur di tiap provinsi. Sesuai dengan PP tersebut, Gubernur memiliki kewajiban untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP).

Selain itu, Gubernur juga diberikan wewenang untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) serta Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) berdasarkan kondisi wilayah masing-masing.

 

4. Isi Lengkap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan

Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan sebagai landasan hukum baru dalam pengaturan upah pekerja dan buruh di Indonesia.

PP tersebut mengatur secara komprehensif berbagai aspek pengupahan, mulai dari kebijakan pengupahan, penetapan upah minimum, struktur dan skala upah, hingga bentuk serta cara pembayaran upah.

Pemerintah menegaskan bahwa pengupahan merupakan salah satu instrumen penting dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja sekaligus menjaga produktivitas dan keberlangsungan usaha. Dalam aturan ini, upah minimum tetap menjadi jaring pengaman bagi pekerja.

Dalam aturan ini tertulis bahwa pemerintah daerah diwajibkan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

"Variabel yang digunakan antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, serta indeks tertentu yang menggambarkan daya beli masyarakat pekerja," tulis isi PP tersebut.

PP Nomor 49 Tahun 2025 juga menekankan bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Sementara bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih, pengupahan harus mengacu pada struktur dan skala upah yang disusun oleh perusahaan.

Struktur dan skala upah tersebut wajib mempertimbangkan golongan jabatan, masa kerja, tingkat pendidikan, serta kompetensi pekerja. Kewajiban penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan untuk mendorong sistem pengupahan yang lebih adil, transparan, dan berbasis kinerja.

Pengusaha juga diwajibkan memberitahukan struktur dan skala upah kepada seluruh pekerja, baik secara langsung maupun melalui peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Selain itu, PP ini juga mengatur upah bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), termasuk pekerja harian lepas dan pekerja berdasarkan satuan hasil atau satuan waktu.

Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi diskriminasi pengupahan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak sepanjang memenuhi syarat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintah turut menegaskan larangan bagi pengusaha untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.

Namun demikian, terdapat pengecualian bagi usaha mikro dan kecil, dengan ketentuan pengupahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, sepanjang tetap memperhatikan batas minimum tertentu sesuai kemampuan usaha .

Lebih lanjut, PP ini juga mengatur mengenai upah lembur, upah tidak masuk kerja karena alasan tertentu, serta mekanisme pembayaran upah yang harus dilakukan secara tepat waktu dan dalam bentuk mata uang rupiah.

Pemerintah menekankan bahwa keterlambatan atau pelanggaran pembayaran upah dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Upah minimum provinsi, upah minimum sektoral provinsi, upah minimum kabupaten/kota serta upah minimum sektoral kabupaten/kota 2026 berlaku terhitung mulai 1 Januari 2026. Pelaksanaan ketentuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pengupahan.

Dengan diterbitkannya PP Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, pemerintah berharap sistem pengupahan di Indonesia menjadi lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi, mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja, serta menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pekerja dan pengusaha.

5. Penetapan UMP 2026 Sebelum 24 Desember

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta gubernur se-Indonesia untuk menetapkan upah minimum tahun 2026 paling lambat pada 24 Desember 2025.

Tito meminta pemerintah daerah segera menindaklanjuti proses tersebut secara serius dan terkoordinasi karena hanya tersisa waktu sekitar tujuh hari.

"Penetapan seluruh upah minimum tahun 2026 yang tadi, terutama ini gubernur sebagai titik sentral, paling lambat tanggal 24 Desember," kata Tito di Jakarta.

Tito menegaskan gubernur memegang peran sentral dalam penetapan upah minimum tahun 2026, baik Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).

Selain berkewajiban menetapkan UMP dan UMSP 2026, gubernur juga dapat menetapkan UMK dan UMSK.

"Gubernur dapat menetapkan upah minimum untuk kabupaten/kota dan upah minimum sektoral kabupaten (atau kota), tapi 'dapat'," ujarnya.


 

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya