JAKARTA - Seiring perkembangan pasar, para peminat jam tangan mewah saat ini tengah didominasi oleh mereka yang menyenangi model sport (sporty-elegant), layaknya produk dari merek-merek Breitling, Tag Heuer, atau Seiko.
Selain mereka, ada pula penggemar dari kalangan feminine-fashion yang didominasi oleh kaum hawa yang selalu mengikuti tren mode. Model yang digemarinya, cenderung pada produk yang dirancang lebih feminim dengan berbagai aksesori tambahan, seperti emas, berlian, dan platinum.
Karena harga yang sangat mahal serta segmen pasar yang terbatas, memasarkan produk watch luxury diperlukan strategi khusus. Contohnya, seperti yang dilakukan Times International (konon, saat ini mereka menguasai 60 persen pangsa pasar) yang telah menekuni bisnis jam tangan mewah sejak 1960-an.
Untuk memperkenalkan produk terbaru misalnya, lazimnya, perusahaan yang menjadi distributor bagi 30 merek arloji mewah (seperti Gucci, Rolex, Tag Heuer, Cartier, dan Chopard) ini akan menyelenggarakan acara khusus yang mengundang para pelanggan potensial.
Selain itu, para ahli di Times International secara rutin memberikan informasi kepada para pelanggannya mengenai pengetahuan tentang arloji. Uniknya, kegiatan tersebut tak jarang digelar dengan kemasan yang amat spesial, seperti makan siang bersama sejumlah selebriti kelas dunia di sebuah restoran di Singapura. Atau mengajak para pelanggannya ke sirkuit Sepang di Malaysia, sambil menjajal mobil Formula 1.
Menggelar semua layanan mewah nan eksklusif ini, semata-mata bertujuan agar para pelanggannya tetap setia. Kendati tergolong bisnis yang mampu menyedot omzet sangat besar, toh tak selalu dijamin akan mendatangkan untung. Kecenderungan seperti itu, kerap dialami oleh para pedagang produk watch luxury.
Pemicunya, lazimnya, karena mereka salah menerapkan strategi pemasaran. Salah satu contohnya, seperti yang pernah dialami oleh PT Mitra Adiperkasa (PT MAP), perusahaan yang kesohor sebagai pemegang lisensi berbagai merek fashion ternama di dunia. Sekitar dua tahun lalu, perusahaan ini sempat menjadi distributor arloji merek Korloff asal Prancis.
Untuk memasarkannya, PT MAP pun membuka butik khusus di Plaza Senayan, Jakarta. Sayang, baru berjalan satu tahun, penjualannya tak memenuhi target. "Hanya mampu menjual sekitar lima dari yang ditargetkan," kata Group Head of Investor Relation PT MAP Ratih D Gianda.
Daripada harus menanggung rugi lebih banyak lagi, manajemen MAP pun segera memutuskan menutup gerai tersebut. Ternyata, menurut Ratih, menjual arloji mewah tak semudah yang diperkirakan sebelumnya. Boleh jadi karena kapok, perusahaan itu kini hanya berminat menjadi distributor produk jam tangan yang membidik pasar remaja.
Yang dialami MAP itu, boleh jadi, terkait erat dengan kondisi pasar di sini. Menurut pandangan pengusaha bidang IT (informasi teknologi) Nina Roselina, yang gemar mengoleksi produk watch luxury, kebanyakan penggemar jam tangan mewah di sini cenderung belum begitu memahami produk berkualitas, terutama dari merek-merek yang baru dikenal. "Wawasan mereka tentang merek jam masih terbatas," ujarnya.
Sehingga, ketika ada yang menawarkan merek (tergolong) baru, meski pun berkualitas, mereka belum tentu berminat membeli.
Pandangan Nina bisa jadi benar. Terutama jika hal itu dikaitkan dengan kalangan orang kaya baru, janganlah heran bila masih ada di antara mereka yang tak mengenal produk Patek Philippe.
Padahal, jenis jam tangan mewah asal Swiss ini sudah merambah pasar dunia (termasuk ke negeri ini) sejak 1851-an. Salah satu tipe andalannya adalah produk bertajuk Sky Chart Grand Complication yang harga pasarannya saat ini mencapai USD200 ribu per unit. Lebih dari itu, berbagai media memperkirakan, memasuki tahun ini, berbagai produk Patek Philippe akan menjadi produk jam paling bersinar (star watch maker).
Bahkan ada yang menilai bahwa kualitas jam yang dihasilkan merek ini lebih baik ketimbang produk legendaris dari Rolex. Benarkah?
(Rani Hardjanti)