JAKARTA - Hari raya Idul Fitri bagi sebagian orang identik dengan mengenakan baju baru. Hal ini seharusnya membuat omzet penjualan tekstil secara umum naik drastis. Namun ternyata, kenaikan permintaan terhadap tekstil tidak dirasakan oleh pengusaha tekstil dalam negeri.
"Kalau pedagang tekstil, itu biasa menyetok persediannya jauh-jauh hari sebelum Lebaran, minimal tiga bulan sebelumnya," ungkap Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat ketika dihubungi okezone belum lama ini.
Stok memang telah dilakukan sejak jauh-jauh hari menjelang hari raya, tetapi para pedagang tekstil ternyata sangat jarang yang menyetok kain dan baju dari produsen domestik.
"Pengusaha tekstil domestik sama sekali tidak mendapat untung dari kenaikan permintaan tekstil, kalaupun iya, jumlahnya kecil karena kebanyakan pedagang mengimpor tekstil dari China dan Korea," lanjut dia.
Selain China dan Korea, pedagang-pedagang juga mengimpor tekstil dari Bangladesh dan India. Namun, kedua negara yang disebutkan pertama menjadi mayoritas impor tekstil di Indonesia.
"Kenaikannya kalau dari Januari sampai Juli lalu sudah mencapai 40 persen. Jadi benar-benar tidak dirasakan pengusaha lokal," keluhnya.
Parahnya, impor tekstil dari China dan Korea ini tidak pandang bulu dan terjadi di semua jenis komoditas tekstil. "Semuanya itu, mulai dari kain-kain yang siap dijahit sampai pakaian jadi seperti baju koko, baju muslim, jilbab, semuanya disapu bersih, tidak ada spesifikasi khusus," tandas Ade.
(Andina Meryani)