Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pemerintah Didesak Cabut Izin PT Toba Pulp Lestari

Wahyudi Aulia Siregar , Jurnalis-Kamis, 15 November 2012 |15:14 WIB
Pemerintah Didesak Cabut Izin PT Toba Pulp Lestari
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
A
A
A

MEDAN - Perusahaan produsen pulp dan kertas PT Toba Pulp Letari Tbk dituding telah melakukan perusakan lingkungan dan penghilangan atas hak-hak masyarakat adat di lokasi yang diklaim sebagai konsesinya. Pemerintah pun didesak menutip perusahaan tersebut.

Kordinator Advokasi Sekber Gerakan Rakyat Sumut Tonggam Panggabean mengatakan, seluruh elemen yang tergabung dalam Sekber merekomendasikan agar PT TPL yang pada era Presiden Megawati Soekarno Putri pernah dibekukan, untuk ditutup secara permanen.

“Kami menilai bahwa rangkaian tindakan PT TPL yang merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat adat (masyarakat lokal) selama ini membuktikan dengan jelas bahwa paradigma baru yang selama ini didengungkan pihak TPL hanya slogan semata," jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Okezone, Kamis (15/11/2012).

Tonggam menyebutkan, PT TPL dengan berlindung di balik konsesi yang diterimanya dari Kementerian Kehutanan  telah membawa dampak-dampak yang negatif.  Di antaranya bencana dan kerusakan lingkungan akibat penebangan dengan sistem tebang habis, terganggunya DAS yang mengakibatkan banjir dan longsor, punahnya tanaman endemik berupa kemenyan yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat secara turun-temurun dan punahnya hewan/species langka yang harus dilindungi.

Selain itu, muncul penyakit ISPA dan gatal-gatal ketika menggunakan air sungai, polusi udara lewat bau busuk yang sangat tajam dan membuat gangguan kesehatan, hasil produksi pertanian yang menurun akibat munculnya hama dan penyakit tanaman (padi dan kopi). Selain itu keberadaan PT TPL juga kerap menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat akibat upaya-upaya pecah belah yang dilakukannya.

“Kami juga menilai bahwa pemerintah justru turut menjadi sumber permasalahan. Selain kebijakan yang dikeluarkannya menguntungkan dan semakin memberikewenangan kepada PT TPL untuk merampas hak masyarakat, pemerintah juga hingga saat ini belum berani memutuskan solusi yang konkrit dan adil bagi masyarakat adat yang selama ini dirampas tanah dan hak-hak adatnya," pungkasnya.

Pemerintah menurut Tonggam, telah mengabaikan hak-hak masyarakat korban, sebaliknya justru berpihak kepada PT TPL. Kementerian Kehutanan pun dituding telah melakukan pembiaran, dengan tidak pernah memberikan sanksi yang tegas dan terbuka terhadap izin konsesi Kepada PT TPL berdasarkan peraturan yang sudah ada.

Di antaranya terhadap Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No: 493/Kpts-II/1992, tentang Pemberian Hak pengusahaan HTI kepada PT Inti Indorayon Utama seluas 269.060 hektar. Faktanya bahwa menteri Kehutanan tidak pernah berani  mencabut izin konsesi PT TPL meskipun telah terbukti mengusahai hutan alam di luar izin/konsesi yang diberikan sebagaimana sanksi pencabutan yang diatur dalam PP No 6 tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Paling parahnya diungkapkan Tonggam, PT TPL telah mengingkari kewajiban untuk menata batas areal konsesinya 36 bulan sejak diterbitkan izin HPH-TI pada tahun 1992 sebagaimana di atur di dalam SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tentang izin Indorayon.

Selain itu, PT TPL juga telah melanggar Permenhut No. P.47/Menhut-II/2010 tentang Panitia tata Batas, Permenhut No. P.50/Menhut-UU/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, SK Gubsu No. 188.44/813/Kpts/2011 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Se-Sumut, dan terakhir Instruksi Menhut No. SE-1/Menhut-II/2012 tentang Penataan Batas Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hutan.  Kenyataannya, sampai kini 20 tahun beroperasi, tidak ada tindakan tegas dari pemerintah berupa sanksi penutupan  PT TPL atas berbagai permasalahan yang diakibatkannya sebagaimana dijelaskan di atas.

“Desakan kami meminta TPL ditutup sangat beralasan. Kalau pemerintah tetap memberikan ijin, artinya pemerintah membiarkan penyiksaan masyarakat terus berlangsung. Pemerintah juga harus mencabut ijin konsesi baik HPH/TI PT TPL, mengembalikan tanah ada yang diklaim TPL sebagai konsesinya, serta pengakuan dari pemerintah atas tanah adat itu. Kami sebagai pembayar pajak pun keberatan aparat brimob yang harusnya melindungi masyarakat, justru ditempatkan untuk berhadapan dengan masyarakat. Tarik mereka, ini bukan soal siapa bayar lebih banyak, tapi ini penzoliman,” tegasnya.

Sekber Gerakan Rakyat Sumatera Utara ini sendiri terdiri dari Kelompok Petani Kemenyan Pandumaan-Sipituhuta, Masyarakat Naga Hulambu, Masyarakat Tapsel, Masyarakat Adat Parlombuan, Aliansi Masyarakat Adat (Aman) Tano Batak, Aman Tano Pakpak, Aman Serdang, Aman Sumut, KSPPM, BAKUMSU, IKOHI, JPIC/KAPUSIN, Yapidi, Lentera Rakyat, PDPK, , SRMI, TEPLOK, KOTIB, PBHI, SBPI, Pusaka Indonesia, Walhi, Gemapala FIB USU, MAPAPULMED, Cc Medan, Earth Society, Komentar Unika, Formadas Medan, Alaram-Tapsel, Gemma, Kontras Sumut, FMN , Klika, KPHSU, KDAS, KPS, FRB, KAMG, GSBI, STKS, BPRPI, Formikom, Lsm Pijar Keadilan, Telapak, Petra, KTMJ, Penatua Adat Hatobangon, Sintesa, HMI Fisip USU, JAP, BARSDEM, KTM, Perempuan Mahardika dan sejumlah akademisi di Sumatera Utara.

(Widi Agustian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement