Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kebijakan Jaman Gita Untungkan Kartel Gula

Kebijakan Jaman Gita Untungkan Kartel Gula
Gita Wirjawan. (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Pada saat Gita Wiryawan menjadi menteri Perdagangan, pemerintah hanya mengendalikan harga Gula hanya di bagian hulu Tata Niaga Gula (tingkat petani) sedangkan di bagian hilir (tingkat konsumen), pemerintah tidak melakukan pengendalian harga. Ini menguntungkan pedagang gula alias kartel gula.

“Saat itu pemerintah hanya mengendalikan tata niaga gula di bagian hulu saja yaitu melalui mekanisme Biaya Pokok Produksi (BPP) dan Harga Pokok Petani (HPP). BPP lokal tinggi sedang HPP nya rendah gula lokal tak mampu bersaing,” kata Peneliti Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi kepada media, Selasa (20/1/2015)

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) yang pro petani pernah meminta pemerintah segera merevisi HPP gula menjadi Rp 8.500/Kg. Mereka beralasan karena meningkatnya biaya pokok produksi (BPP) tebu di tingkat petani. Pemerintah tidak menaikkan HPP gula sejak 2012 dan 2013 dan masih seharga Rp 8.100/kg. Gita bahkan sempat mematok HPP gula sebesar Rp 7.000/kg di 2011.

Kementerian perdagangan setiap tahun menetapkan HPP yang merupakan harga dasar dalam pelelangan Gula petani. HPP dihitung berdasarkan biaya pokok produksi tebu dan BPP ditambah hasil kajian keuntungan, inflasi, bunga bank, dan harga gula import.

Menurut Uchok, patokan HPP dinilainya mematikan gairah petani untuk menanam tebu.” Akibatnya produksi gula lokal rendah dan Gita membuka keran besar-besaran untuk gula impor,” kata Uchok.

“Karena itu pemerintah tidak mengendalikan harga pada tingkat konsumen, maka tata niaga Gula Kristal Putih (GKP) yg berbahan baku tebu rakyat dikuasai oleh beberapa pedagang gula. Ini mengakibatkan kadang-kadang harga eceran GKP jatuh, dan kadang-kadang jauh di atas harga GKP impor,” kata Uchok.

Uchok memberi gambaran, target produksi untuk program swasembada gula nasional tahun 2013 adalah 5.70 juta ton, yaitu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi berupa Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 2.96 juta ton, dan kebutuhan industri makanan minuman (Gula rafinasi) sebanyak 2.74 juta ton.

Menurut Uchok, saat itu kenaikan target per tahun sebesar 12.55 persen. Tapi di lapangan, pada tahun 2010 - 2012 kenaikan realisasi produksi rata-rata hanya 3.26 persen. Karena tidak mencapai, dibuka kran impor.” Ini merugikan petani, tapi menguntungkan pejabat negara, pedagang gula atau kartel gula,” kata Uchok.

“Kesimpulannya, pemerintah tak mau cape meningkatkan produksi tebu, sehingga Gita memanfaatkannya dengan mengambil jalan pintas yaitu memberi izin impor gula. Yang senang ya kartel gula,” kata Uchok.

(Martin Bagya Kertiyasa)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement