JAKARTA - Di mata dunia, Indonesia memang terkenal sebagai negara yang paling sering mengubah regulasinya. Tentu ketidakpastian kebijakan dari pemerintah sebagai regulator, merupakan hal yang paling tidak disukai bagi perusahaan. Tentu dalam mengembangkan sebuah perusahaan dibutuhkan regulasi yang stabil.
Meskipun mengetahui hal tersebut, perusahaan furniture raksasa asal Swedia IKEA tetap saja berekspansi di Indonesia. Sang General Manager IKEA Indonesia Mark Magee pun mengakui, bahwa regulasi yang berubah merupakan tantangan utama baginya dalam mengembangkan IKEA di Indonesia.
"Saya pikir Indonesia merupakan negara nomor satu dengan regulasi yang paling sering berubah. Hal itu tidak kita temukan di negara lain, tapi ya itu memang bagian dari Indonesia," akui Magee kepada Okezone saat di temui di toko IKEA Alam Sutera, Tangerang Selatan, beberapa waktu yang lalu.
Namun, Magee mempunyai cara tersendiri untuk menghadapi rintangan tersebut tanpa harus pasrah terhadap imbas dari regulasi yang dibuat. Sejak awal berdiri, IKEA mencoba untuk menjalin hubungan yang baik dengan kementerian dan lembaga terkait.
Dengan kedekatan tersebut, IKEA bisa mendapatkan masukan untuk menyelaraskan strategi perusahaan dengan regulasi yang berlaku.
"Kami dekat seperti dengan Kementerian Perdagangan dan beberapa kolega kami. Mereka bisa memberi masukan tentang apa yang bisa dilakukan meskipun regulasinya terus berubah-ubah," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Magee, dengan terjalinnya hubungan yang baik dari perusahaan dan pemerintah, kedua belah pihak bisa duduk bersama untuk saling memberi rekomendasi untuk menciptakan peraturan yang saling menguntungkan.
"Untuk menciptakan itu harus kita harus berdialog bersama-sama dengan pihak yang berwenang untuk mencari kebijakan yang terbaik. Dan yang terpenting adalah bagaimana bisa diciptakan peraturan yang bisa diterapkan secara baik," tambahnya.
Magee menambahkan, keadaan infrastruktur yang kurang mendukung kegiatan distribusi barang juga menjadi momok tersendiri bagi perusahaan ritel properti yang produknya kebanyakan berasal dari impor. Banyak hal yang menjadi permasalahan, mulai dari minimnya kapasitas pelabuhan hingga keadaan jalanan.
Perusahaan pun harus berpikir keras untuk menghemat biaya dari sektor distribusi."Tapi masalah itu bukan hanya untuk IKEA, untuk semua orang yang ada di sini," ucap pria berkebangsaan Inggris tersebut.
Kondisi nilai tukar Rupiah yang belakangan ini terus tertekan dari USD, juga menjadi tantangan besar bagi perusahaan yang telah memiliki 364 toko di 46 negara berbeda ini. Apa lagi, IKEA memiliki kebijakan yang hanya mengubah harga 1 kali dalam setahun setiap bulan September.
"Kebijakan kami tidak mengubah harga selama satu tahun penuh sebisa mungkin. Memang anjloknya rupiah berdampak juga terhadap kami. Tapi saya lihat tahun lalu dolar juga melemah terhadap Rupiah, tapi kenyataannya sekarang berbalik. Memang keadaan fluktuatif seperti itu sangat berdampak terhadap kami, meskipun begitu kami tidak berencana untuk mengubah harga," pungkasnya.
(Fakhri Rezy)