Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pelonggaran Moneter dan Prospek Emiten Properti

Koran SINDO , Jurnalis-Rabu, 30 Maret 2016 |13:57 WIB
Pelonggaran Moneter dan Prospek Emiten Properti
Ilustrasi: Shutterstock
A
A
A

JAKARTA - Data menunjukkan terdapat 47 emiten properti dan real estate dan 13 emiten konstruksi bangunan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bagaimana dampak positif pelonggaran moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) terhadap prospek emiten properti?

Boleh dikatakan terdapat dua mazhab mengenai kebijakan ekonomi, paling tidak hingga Desember 2015. Mazhab pertama memiliki preferensi untuk mempertahankan stabilitas ekonomi. Aliran ini dipresentasikan oleh BI yang mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level tinggi. Padahal inflasi tampak kian jinak.

Mazhab kedua berupaya menggenjot pertumbuhan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Namun, mulai pertengahan Januari 2016, kedua mazhab itu mulai melebur untuk bersama-sama mendorong suku bunga kredit mencapai satu digit (di bawah 10 persen) pada akhir 2016.

Aneka langkah strategis yang telah diambil BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertama, dengan gagah berani BI menurunkan tiga kali BI Rate pada 2016 masing-masing 25 basis poin (bps) (0,25 persen). Dengan bahasa lebih bening, saat ini BI Rate telah meluncur ke bawah dari 7,5 persen menjadi 6,75 persen.

Kedua, menjelang akhir Desember 2015, BI telah menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer 50 bps (0,50 persen) dari 8 persen menjadi 7,5 persen. Opsi itu dipilih BI mengingat BI Rate tetap bertahan di level 7,5 persen. Tanpa diduga, GWM primer kembali menurun lebih tebal lagi, yakni 100 bps (1 persen) dari 7,5 persen menjadi 6,5 persen efektif 16 Maret 2016.

GWM Primer merupakan simpanan minimum yang wajib dipelihara bank nasional di bank sentral dalam bentuk rekening giro yang dihitung dari persentase dana pihak ketiga. Dengan penurunan GWM itu, bank nasional akan memperoleh amunisi baru untuk menyalurkan kredit lebih besar lagi walaupun amat disadari bahwa permintaan kredit sekarang ini sedang lesu darah.

Ketiga, OJK pun menurunkan batas atas suku bunga deposito maksimal 75 bps (0,75 persen) di atas BI Rate untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV dan maksimal 100 bps (1 persen) untuk BUKU III yang efektif 16 Maret 2016. Pemangkasan itu diambil mengingat banyak BUMN yang sering minta suku bunga deposito lebih tinggi.

Dampak Positif Pelonggaran Moneter

Lantas, dampak positif apa saja yang akan muncul pascapelonggaran moneter? Pertama, penurunan BI Rate ternyata sanggup mendorong perbaikan iklim investasi di Indonesia. Indikator itu tercermin pada credit default swap (CDS) yang semakin membaik. CDS Indonesia bertenor lima tahun sebesar 185,11. Hal ini merupakan level terendah sejak Agustus 2015.

Pencapaian tersebut juga membaik 19,48 persen dari posisi akhir 2015 atau year to date. Semakin rendah angka CDS, berarti risiko berinvestasi di kawasan tersebut semakin minim. Sebaliknya, semakin besar angka CDS menandakan risiko kian tinggi (Harian Kontan , 21 Maret 2016). Tak berhenti di situ. Profil risiko negara (country risk ) Indonesia juga menjadi salah satu elemen penting yang sangat dipertimbangkan oleh investor global.

Kini Indonesia termasuk negara berisiko sedang (moderate country risk) di bawah level risiko negara rendah (low country risk) dan risiko negara sangat rendah (very low country risk ). Kedua, selain itu, pelonggaran moneter berupa penurunan suku bunga acuan telah membuat pasar surat utang cerah.

Tolok ukur kinerja pasar obligasi domestik Indonesia Composite Bond Index (ICBI) pekan 14 Maret-18 Maret 2016 mencatatkan return positif sebesar 7,56 persen. Kurva yield obligasi domestik juga kompak bergerak bullish . Rata-rata yield obligasi pemerintah sepanjang tenor 1-30 tahun turun 13,81 basis poin secara week on week .

Adapun rata-rata yield obligasi korporasi pada pekan tersebut turun 16,31 persen week on week (Harian Kontan , 23 Maret 2016). Ketiga, tentu saja penurunan suku bunga acuan pun akan memberikan darah baru bagi sektor yang termasuk sensitif terhadap perubahan suku bunga, yakni sektor properti. Penurunan BI Rate sangat diharapkan akan mendorong suku bunga simpanan (deposito) menipis sekalipun pelan-pelan (gradually).

Penurunan suku bunga simpanan itu diharapkan mampu menyetrum suku bunga kredit menjadi lebih rendah. Tentu saja, bank nasional membutuhkan waktu dua sampai tiga bulan untuk berhitung kembali untuk kemudian menipiskan suku bunga kredit. Perlu waktu. Itulah sebabnya, walaupun bank sentral telah menurunkan BI Rate, tetapi penjualan properti terutama kredit pemilikan rumah (KPR) belum tampak mencorong.

Namun, penurunan BI Rate minimal akan mengangkat pencapaian prapenjualan (marketing sales). Lebih lanjut, hal itu akan meningkatkan belanja modal (capital expenses ). Ujungnya, penjualan akan semakin tinggi. Belum lagi ketika pemerintah akhirnya menetapkan pengurangan pajak penghasilan (PPh) final sektor properti dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Demikian pula pajak berupa bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB) dari 5 persen menjadi 2,5 persen. Insentif nan cantik! Nah, ketika suku bunga kredit kian menguncup termasuk KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) dan insentif makin menawan, plus kenaikan daya beli masyarakat, maka prospek emiten properti bakal semakin kinclong pada 2016.

PAUL SUTARYONO

Pengamat Perbankan

(Rizkie Fauzian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement