TIDAK ada kata terlambat untuk belajar, sebab apa yang kita pelajari saat kuliah dahulu mungkin tidak seluruhnya akan terpaku dalam pekerjaan kita. Untuk itu, kita harus beradaptasi dan berevolusi guna menjadi ahli pada bidang yang kita kerjakan.
Adalah CEO Asuransi Astra Buana Santosa, yang juga menerapkan evolusi dalam pekerjaannya. Lulus sebagai ahli fisika, karier Santosa yang saat ini tengah berjuang mengembangkan bisnis asuransinya via jalur online menggunakan twitternya @snt4online, jauh dari apa yang dia bayangkan dulunya.
Awal Karier
Lulus di salah satu Universitas ternama di Kota Gudeg, Yogyakarta, Satoso muda yang mengambil S1 ilmu dan teori Fisika di Universitas Gajah Mada (UGM) mengawali kariernya di Astra International bukan karena ingin, namun karena keberuntungan dalam mengambil kesempatan.
Pertama kali bergabung dengan Grup Astra, Santosa bekerja di Astra Graphia pada tahun 1989 sebagai IT Specialist, setelah ditawari bekerja oleh kakak kelasnya. Keahliannya dalam bidang komputer, menjadi senjata yang ampuh lantaran pada era tersebut komputer merupakan barang mewah yang tidak dimengerti semua orang.
Memang, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan idamannya, lantaran dia ingin masuk ke Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) besutan Mantan Presiden BJ Habibie. Menurutnya, pekerjaan inilah target dari semua mahasiswa fisika kala itu.
"Zaman saya dulu semua orang (yang kuliah di jurusan tersebut) ingin seperti pak Habibie. Kan enak di sana, nanti dikasih beasiswa sampe S3, semua ditanggung, uang saku gede. Jadi semua anak fisika sudah pasti ingin masuk ke program itu," kata dia dalam perbincangannya kepada Okezone belum lama ini.
"Pak Habibie itu kan gila, jaringan internasionalnya luar biasa. Tapi begitu reformasi, sekarang malah bubar. Padahal kalau diterusin itu bagus, sekarang lulusannya kan nyebar di luar malah jadi jago-jago akhirnya kerja di sana," jelas dia.
Dia melanjutkan, kesenangannya akan ilmu fisika juga awalnya terkesan dipaksakan. Pasalnya, keinginan tersebut diambilnya lantaran dia tidak mempunyai banyak pilihan, jika ingin diterima di universitas negeri.
"Dulu saya maunya di negeri, tapi dulu kan masih diskriminasi, yang keturunan paling cuma 10 persen. Masih pakai sistem Sipenmaru, jadi mau masuk perguruan tinggi yang negeri harus undangan. Semua temen saya yang pinter itu pilih ekektronika," jelas dia.
"Lalu saya cari yang mirip-mirip. Saya tanya ke teman-teman, 'ada yang milih fisika enggak?' Enggak ada, ya sudah saya daftar saja di situ. Saya lebih pilih UGM ketimbang di ITB, karena saya tinggal di situ, jadi kesempatan masuknya lebih besar. Saya kan sekolah di the Brito, itu kan terkenal di Yogyakarta. Lalu saya pilih lagi, UGM yang paling sepi apa? Mipa, lalu Mipa yang paling sepi apa? Fisika. Lalu saya cari yang paling mirip elektro apa, instrumentasi, masuk ke situ," ungkapnya.
Santosa mengungkapkan, dalam memilih kuliahnya tersebut memang tidak ada campur tangan dari pihak keluarganya. Pasalnya, tingkat pendidikan keluarganya kala itu terbilang tidak tinggi.
"Bapak saya cuma lulus SMA ibu SMP, jadi sekolah ya sudahlah suka-suka saja.. Wong, fisika sama teknik sipil saja mereka enggak tahu bedanya. Jadi ketika saya masuk UGM mereka senang, yang penting negeri sudah senang, karena kan murah," kenang dia sambil tertawa.
Untuk menuntaskan kuliahnya tersebut, Santosa pun harus berjuang membayar kuliahnya. Oleh karena itu, dia pun mencari cara agar dapat memperoleh masukan guna membayar kuliah.
"Untuk mencari tambahan saya mengajar di Yogya, ngajar anak SMA. Dulu sebulan 1 SKS itu Rp25 ribu, saya ngambil 24 SKS. Jadi tiap bulan saya ngajar, satu anak Rp25 ribu, jadi bisa tiga atau empat orang," katanya.
Masuk ke perkuliahan, Santosa pun mulai menatap masa depan. Merasakan ketertarikannya pada alat pengukur yang digunakan dalam sebuah perusahaan, dia pun bercita-cita ingin bekerja di luar negeri. "Tadinya ke instrumentasi pengukuran, karena ingin kerja di Prancis yang ada mesin ukur partikel, sekarang sudah enggak kepikiran untuk kuliah, kalau dulu waktu masih muda saya kepikiran di riset," tutur dia.
Lika-liku Eksistensi di Astra
Masuk di Astra, Santosa pun belajar berbagai ilmu baru, sebelum akhirnya mendarat untuk mengurus Asuransi Astra. Untungnya, perpindahan di lini bisnis Astra International tersebut tidak terjadi secara cepat.
"Saya kan 27 tahun di Astra, pindahhnya enggak mendadak sampai sini. Sedikit-sedikit, saya geser kan dikit-dikit. Katakanlah kalau sarjana butuh empat tahun, kalau 27 tahun sudah berapa kali sarjana tuh," candanya.
Dari IT Specialist, Santosa mendapat kesempatan untuk bekerja di Consulting Resource di PT Digital Astra Nusantara pada 1993, sebuah perusahaan hasil kolaborasi Astra Graphia dengan Digital Equipment Corporation, produsen komputer kedua terbesar di dunia setelah IBM.
“Saya pikir wah kesempatan nih, Astra buka divisi infrastruktur telekomunikasi. Saya pikir komputer dengan telekomunikasi enggak jauh kan ya, karena saya spesialisasinya network jadi dengan komunikasi kan dekat. Memang harus beradaptasi juga, tidak mungkin langsung jalan,” katanya.
Salah satu kenangan yang dia ingat adalah saat membeli hard disk sebesar lemari. Menurutnya, hal ini dia lakukan saat projek Bapeksta, departemen keuangan, yang mengharuskan dia membeli hard disk 5 gigabyte (gb) degan harga USD5 juta. "Sekarang 5 gb dikantongin, harga Rp50 ribu, dulu kita bikin itu rumit, kalau bikin itu harus bikin risk floor, AC dari bawah biar enggak panas," katanya.
Dari situ, Satosa muda kemudian dipercaya menjadi Business Development Manager pada anak perusahaan Astra International di PT Astratel Nusantara pada 1995 yang bergerak di bidang infrastruktur.
Dari situ, Santosa kembali dipindahtugaskan menjadi Head of Corporate Support & Planning di PT Pramindo Ikat Nusantara pada 1996, yang berfokus pada penyelenggaraan kerja sama operasional dengan PT Telkom Indonesia. Di perusahaan inilah, dia mulai belajar terkait cost dan profit. "Awalnya kan cuma ngerti pendapatan dikurangi cost sama dengan profit. Lalu saya baca-baca, mulai belajar dan sudah mulai tahu income statement," jelasnya.
Pada periode 2000, dia kembali ke PT Astratel Nusantara, namun kali ini menjabat sebagai General Manager Corporate Finance & Planning. Baru pada 2001 dia ditugaskan di PT Astra CMG Life sebagai Director Sales & Marketing, sebuah perusahaan sakit selepas krisis 1998.
Berhasil memulihkan perusahaan tersebut dari krisis, Santosa didapuk menjadi Chief Financial Officer di PT Astra Graphia pada 2003. "Itu juga kebetulan, karena ada direktur yang resign. Balik lagi selalu ada faktor keberuntungan,” jelas dia.
"Dulu pak Michael (Dirut Astra Michael Dharmawan Ruslim) kaget juga, tahu ga punya latar belakang ekonomi. Saya kan bergaul dengan orang keuangan sudah lama, mungkin beliau pikir saya itu lulusan accounting atau ekonomi. 'Lah ini kan direktur keuangan’ kata dia, tapi ya sudahlah, sudah terlanjur, tapi saya belajar di situ," tutur dia.
Dua tahun mengurusi PT Astra Graphia, dia pun ditunjuk menjadi Chief Financial Officer di PT Asuransi Astra Buana pada 2005. Namun, saat itu kariernya belum berhenti di Asuransi Astra Buana, pada 2007 Michael Dharmawan kembali meregenerasi struktur Astra International.
Dia pun dikirim untuk membantu di PT Astra Agro Lestari sebagai Chief Financial Officer pada 2007, sekaligus menjadi Anggota Komite Investasi Yayasan Dana Pensiun Astra I & II. Mulai 2008, dia ikut berperan menjadi Anggota Komite Investasi PT Asuransi Astra Buana hingga sekarang.
Pada 2013, Santosa kembali lagi ke Asuransi Astra, kali ini dia menjabat Wakil Presiden Direktur di perusahaan itu, baru pada 2014 dia dipercaya sepenuhnya mengurus perusahaan asuransi dengan terbesar Garda Otto tersebut.
Berjuang Lolos dari Kebangkrutan
Nama Astra semakin melambung dan mencapai kejayaan mereka pada periode 2010-2013. Santosa mengatakan, sebelum 2014 Astra menjadi perusahaan paling top di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan investasi yang besar di mana-mana.
"Tapi sekarang kita minimizing, kita masih berharap ada perbaikan di ekonomi kita. Kita kalau di dalam, berahap tahun depan sudah ada perbaikan, sekarang kan sudah mulai terasa sudah sustain, Rupiah stabill," kata dia.
Namun, tidak selalu perusahaan tersebut berada di atas. Layaknya sirkulasi sebuah kehidupan, Astra juga pernah mengalami kehatuhan saat krisis. Santosa pun pernah berjuang menghidupkan PT Astra CMG Life saat menjadi Director Sales and Marketing, yang kala itu hampir bangkrut.
"Pas saya jadi direktur itu umur 35 di asuransi, portfolio kita 50 persen hilang. Kita modal Rp50 miliar, sudah rugi dua tahun berturut-turut itu total Rp30 miliar, Rp15 miliar tambah Rp15 miliar, jadi tinggal 1/3. Kalau rugi lagi, tutup itu. Karena sudah kurang dari 75 persen modal awal, harus dilikuidasi," jelas dia.
Dalam kondisi tersebut, dia mengatakan semua direktur Astra tidak ada yang mau memegang jabatan tersebut. Akhirnya, dia pun maju menjadi direktur, meskipun belum waktunya menjadi direktur.
"Cuma senior-senior saya mulai ninggalin kursinya, karena kalau itu bangkrut, mati dia. Pak Michael nawarin, kamu pegang deh. Kesempatan kan, saya pikir, halah, kalau memang bangkrut, memang belum waktunya saya jadi direktur, biarin deh," kisahnya.
"Begitu saya bisa kembali ke Break Even Poin saja, saya langsung dibilang hebat, bisa ngurusin company mau bangkrut. Akhirnya tawaran dateng sendiri kan. Jadi musti berani ngambil resiko, tapi kita harus nothing to lose. Kalau yang sudah direktur, ditawari direktur juga tapi problem, pada enggak mau, nah saya belum direktur ditawari, ya ambil saja siapa tahu bisa," kenang dia.
Namun, keputusan tersebut harus dibayar mahal, lantaran menjadi Direktur tidaklah seenak yang dibayangkan banyak orang. Menurutnya, dia setengah mati harus berjuang menyelamatkan perusahaan tersebut dari kebangkrutan.
"Setengah tahun kayak orang gila saya, mantau terus. Ini produk, rugi, banyak masalah, tutup saja. Cabang ini rugi, banyak masalah, tutup. Lalu mecatin orang, harus berani begitu. Akhirnya dari 60 cabang, waktu itu kita pangkas separuh, sampai benar-benar slim. Baru tahun depan profit Rp4 miliar, sedikit sih tapi yang penting enggak ditutup," katanya.
Santosa melanjutkan, memecat orang memang tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Menurutnya, untuk melaksanakan keputusan tersebut, dia bahkan kehilangan berat badan dari 74 kg ke 60-an.
"Tapi memang harus dilakukan, saya datangi mereka. Sudah dihitungin, pesangon berapa dan segala macam, karena memang harus tutup kok. Kalau direktur lama, pasti enggak bisa ngelakuin. Bukan enggak mampu, tapi enggak sanggup. Sekarang dia yang recruit, waktu recruit kan banyak janji manis, ternyata begini, ngomong saja sudah berat dia," kata Santosa.
"Kalau saya kan tidak punya emotional attachment, karena enggak pernah bekerja bertahun-tahun dengan mereka. Hanya saya jelaskan, kondisi cabang kan seperti ini, perlu berapa lama cari kerjaan baru, ini pesangon secara aturan segini, lalu kita tambah yang dari perusahaan. Memang tidak ada pilihan, pasti kita tutup," jelasnya.
Kunci Sustain di Bisnis
Layaknya sebuah perusahaan, Astra juga kerap dilanda dengan masalah. Meski demikian, dengan fondasi yang kuat dari terbangun sejak lama, menjadi kunci dari bertahannya Astra lintas generasi.
Santosa mengatakan, sistem yang dibentuk Astra kini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Pasalanya, sejak periode 1980-an Astra sudah mulai fokus pada Human Resources (HR), dengan demikian terbangun sistem yang sudah berjalan dengan sendirinya.
"Contoh pada 2010, pak Michael (Direktur Utama PT Astra International Michael D Ruslim) meninggal karena demam berdarah. Kan enggak ada yang tahun, wong seminggu sebelumnya kita masih rapat, tiga hari langsung meninggal. Tapi enggak sampai sebulan sudah jadi Dirut pak Pri (Prijono Sugiarto). Enggak ada masalah, karena sudah baku," jelas dia.
"Jadi untuk sustain itu HR, culture yang sudah terbangun. Kita sudah terbentuk secara natural, Anda bisa melihat teman-teman yang seangkatan dengan saya mereka merasa sudah bisa bangun sendiri, tapi begitu pindah ke perusahaan lain, itu yang namanya culture pasti berebeda.
Dia mencontoh Menteri BUMN Rini Soemarno, yang dulu pernah menajdi salah satu pemimpin di Astra yang sangat terkenal. Namun, pertama kali dia bekerja di Menperindang, Rini tidak bisa mengatur seperti layaknya di Astra.
"Kalau di Astra, abis rapim, oke jalan ya, siap bu, jalan semua. Tapi di sana, enggak jalan. Jadi enggak gampang, berat membangun culture, banyak dari eksekutif Astra yang keluar, mereka mengalami kesulitan," tuturnya.
Santosa melanjutkan, kesulitan yang dihadapi di tiap industri tersebut memang berbeda. Dia mencontohkan, apa yang terjadi di Asuransi Astra, memang tidak bisa ditangani dengan cara yang sama seperti di Astra Agro.
"saya kan enam tahun di agro, tiga tahun di asuransi, sebelumnya kan juga sudah lama di Astra. Kalau di sini, kita kan lebih ke kompetisi, kreativitas marketing, yang seperti itu. Tapi kalau di agro, kan tidak ada seperti itu, kita lebih ke sosial, manage masyarakat," tuturnya.
Meski demikian, dia mengakui tantangan di sektor sosial memang leih sulit diabndingkan dengan kreativitas. Terutama, ketika ada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pasalnya, Astra tidak bisa berpihak kepada siapa pun.
"Tiap ganti pemerintah kita pusing. Kadang orang melihat, waduh pengusaha itu nyogok, antara nyogok sama diperas itu beda tipis. Karena kita tahu, kalau dia sampai menang, kita tidak partisipasi wah repot, izin kita masalah pasti. Sudah enggak tahu deh siapa yang salah, makanya harus cari cara yang memang tidak melanggar hukum. Kalau dengan Astra, kita harus good governance, mereka pasti mau," jelas dia.
"Pasti ada yang datang untuk meminta batuan, dana untuk kampanye, tapi kita bilang. 'Enggak bisa pak, kita ini Astra, kita tidak bisa memberi uang, bapak ingin apa?' Dia bilang, saya ingin bangun jalan, kita bilang kita bangunin, nanti Anda tinggal meresmikan. Nyogok ga? itu kan kita CRS, karena yang kita layani masyarakatnya, tapi yang pasti kita enggak mau ngasi duit," jelas dia.
Dia melanjutkan, para pemimpin di Astra selalu mempersiapkan bawahannya untuk menajdi penerus, yang dikenal dengan isitlah Replacement Table Chart (RTC), dengan cara melakukan review tiap enam.
"Saya mereview bawahan, kalau kamu enggak ada lagi di sini, dalam enam bulan siapa yang bisa gantiin? Masih bisa diserahkan tanggung jawab enggak? Semua diminta begitu, supaya ada pengganti. Ada yang dalam waktu dekat, ada yang tiga tahun ada yang lima tahun. kita selalu punya tiga layer," jelas dia.
"Kalau itu bolong gimna nutupnya, misalkan di program dia perlu waktu lima tahun, oke bagaimana supaya dalam tiga tahun di siap, maka ada jalur specialis atau underwritter, lalu kira-kira training apa yang perlu dia ikuti. Nah itu kenapa astra lebih solid," jelasnya.
Meski demikian, sistem seperti ini memang membuat Astra menjadi tidak efisien, lantaran harus mempersiapkan lebih dari satu orang. Dia mengambahkan, memang di perusahaan kecil lebih effisien, tapi belum tentu lebih reliable.
"Itu kan musti ada buffer, nah buffer itu kan nambahin cost. Misal hanya untuk satu orang, kita buat dua, butuh tiga kita siapkan empat. Tapi itu create reliability, tapi itu effisein enggak? Enggak. Layaknya server komputer, kita punya dua, jadi kalau down kita punya cadangan. Nah, kalau company lain mungkin hanya satu. Mungkin mereka bilang lima tahun kita enggak down, ya belum, pasti akan suatu saat," tutur dia.
Oleh karena itu, ketika salah satu direktur Astra mundur atau meninggalkan jabatannya dengan alasan apapun, maka Astra tidak akan stagnan. "Jadi misalnya hari ini saya enggak ada, enggak sampai dua minggu sudah RUPS ada presdir baru. Memang akan goyang dikit, tapi paling hanya dua atau tiga bulan," katanya.
Tiga Kunci sukses
Santosa mengatakan, apa pun pekerjaan yang saat ini dihadapi, sukses atau keberhasilan bergantung dari tiga hal, yakni kemauan, kemampuan dan kesempatan. Namun dia juga menambahkan, dalam berbisnis keberuntungan bisa menjadi faktor penentu.
"Kalau kerja yang penting kemauan dulu, mau dan mampunya kuat, kesempatan itu akan lebh besar, enggak peduli profesinya apa. Contoh fotografer, kalau dibandingkan dengan Micahel Jordan ya enggak ada apa-apanya. Tapi kalau mau cari USD3-USD5 juta itu ada, Annie Leibovitz, kalau dibanding eksekutif astra mungkin gedean dia gajinya," kata Santosa.
"Jadi intinya kemauan, kita asah. Tapi kalau kita tidak mau, maka tidak bisa. Katakanlah kita ingin jadi penyanyi karena bayarannya gede, Anda mau latihan enggak? kalau tidak ya tidak bisa. Karena kita lihat apapun profesinya, mereka kan dedikasikan dirinya, latihannya berapa jam tiap hari, tidak main-main, lebih parah dari yang karyawan loh, kita karyawan kerja berapa jam masih bisa istirahat, merokok dulu. Dia, mana ada seperti itu," ungkap dia sambil tertawa.
Oleh karena itu, dia mengimbau apa pun yang saat ini tengah dikerjakan, kita harus mau menjalani tidak bisa hanya dengan keinginan saja. "Saya dulu akhirnya belajar soal ekonomi, padahal dari fisika. Dan begitu ada kesempatan, kita bisa masuk ke situ. Jadi apa pun profesinya, kita harus punya passion di situ, kalau tidak ya percuma," katanya.
Menurut dia, kita tidak akan pernah tahu kesempatan itu cocok apa tidak, sampai kesempatan itu datang di depan mata kita. Hal inilah yang dialaminya saat menjabat pertama kali menjadi direktur di Astra saat berusaha bangkit dari kebangkrutan.
"Makanya leadership di tiap kondisi itu berbeda. Seperti sekarang, mau masuk ke online, kalau sudah salah jalan bisa disuruh benerin? Pasti enggak bisa. Karena sudah terlanjur emosional attachment, kan malah makin kejebur. Tapi enggak boleh terlalu cepat ambil keputusan juga. Bisa jadi sebenernya belum jadi, masih perlu waktu. Maka itu kecepetan ambil keputusan juga enggak bagus," katanya.
Santosa menjelaskan, sebagai seorang pemimpin maka CEO harus mempersiapkan diri untuk melakukan invovasi. Menurutnya, ketika inovasi tersebut berhenti dan menyebabkan perusahaan tersebut stagnan, maka pemimpin tersebut harus direview kembali.
"Di mana-mana memang seperti itu, di Wall Street ketika di slow down, sudah diberi kesempatan enggak berhasil, ya memang harus diganti. Kalau sudah jadi CEO, itu pasti bounding dengan strategic, kayak bayi kita, kita suka mikir masa sih gagal, tapi kalau seperti itu, taruhan kita makin besar karena penasaran, akhirnya bangkrut beneran," katanya.
"Karena itu, komisaris, pemegang saham harus lihat, kapan orang ini harus diganti. Pemimpin yang bagus, pasti punya keyakinan. Ketika sudah ambil keputusan, tidak ada yang bisa belokin, kita harus yakin ini arahnya. Kalau salah, maka harus dicabut diganti orang yang tidak punya ikatan, sehingga masih bisa berpikir jernih," jelas dia.
(Fakhri Rezy)