JAKARTA - Banyak pengusaha lebih memilih mengembangkan bisnis keluarganya yang sudah mereka bangun sejak lama. Meskipun, beberapa di antara mereka lebih memilih untuk mengembangkan bisnis sendiri,namun tidak banyak yang bisnisnya berkembang seperti yang dilakukan Kishore Biyani.
Kishore Biyani bisa saja bekerja di perusahaan ayahnya, melanjutkan bisnis keluarganya, tapi dia lebih memilih mengambil risiko untuk mendirikan usaha lain. Dalam waktu kurang dari tiga dekade, dia telah beralih menjadi konglomerat ritel terbesar di India, setelah perusahaannya, Pantaloon Retail, memiliki sekitar 1.000 toko di seluruh negeri dan menghasilkan penjualan 47 miliar rupee (USD723,63 juta) tahun lalu.
Hidup memang seperti roda yang berputar, dulu ketika Biyani memulai bisnisnya, hanya sedikit yang mengira usahanya akan bertahan. Dia pun tidak didukung oleh perusahaan keluarganya, oleh karena itu rekan-rekannya menganggap dia sebagai pengambil risiko kompulsif.
Akibatnya dia pun tidak mendapatkan pasokan barang, bahkan perbankan pun tidak mau memberikan pinjaman. Perusahaannya pun ditolak oleh Asosiasi peritel di India. Namun Biyani tidak patah semangat, alih-alih menganggap hal itu menjadi beban, dia malah melihat tantangan tersebut menyenangkan.
Biyani tumbuh di daerah Bukit Malabar di Mumbai, dia memang lahir dari keluarga pengusaha, dimulai dengan kakeknya, yang pindah ke Mumbai dari Nimbi, sebuah desa di Rajasthan, untuk membuka toko grosir yang menjual dhotis dan sari. Ketika Biyani mengunjungi Bazaar Century saat remaja, dia melihat ritel dilakukan dalam skala besar. Dia kemudian memutuskan bahwa dia akan menciptakan sesuatu yang serupa, tapi lebih baik.
Dia belajar perdagangan di HR College di Mumbai, sayangnya dia tidak memiliki ambisi menggali lebih saat kuliah. Menurutnya sekolah bisnis mungkin baik bagi manajer, tapi bukan untuk pengusaha seperti dia. Dia melihat pendekatan di perguruan tinggi tidak cocok untuknya, dan lebih memilih mempertajam pengamatan di luar kuliah.
Dia pun lebih memilih menghabiskan sebagian besar hari di luar kuliah dengan teman-teman, berkeliaran di tempat baru dan memahami dan menafsirkan dunia. Menjelang akhir kuliah, Biyani mulai bekerja dengan ayah, saudara laki-laki dan dua sepupunya yang lebih tua di bisnis keluarga, Bansi Silk Mills, yang memperdagangkan kain.
Saat bekerja di perusahaan keluarganya tersebut, Biyani merasa terhambat oleh budaya bisnis konservatif perusahaan. Karenanya, dia hanya datang dua atau tiga jam ke kantor, lalu memilih untuk pergi ke luar dan melanjutkan observasinya.
Lantaran tidak tertarik pada usaha tersebut, orang tuanya pun mengenalkan dia pada Sangita Rathi, dan pada November 1983, setelah berpacaran selama enam bulan, mereka menikah. Setelah menikah, Biyani baru mulai berbisnis itu pun karena sebuah kebetulan. Pada awal 1980-an, dia melihat bahwa teman-temannya memakai celana panjang yang terbuat dari kain "stonewashed", bahan yang populer pada saat itu.
Dia pun berpikir untuk manjadi penjual kain tersebut. Dalam enam bulan ke depan, dia menemukan pabrik lokal yang membuat kain itu dan menjual bahan itu beberapa ratus ribu rupee ke beberapa produsen garmen dan toko di kota. Dia pun mendapatkan keuntungan pertamanya dan kesuksesan wirausaha pertamanya.
Dia kemudian meluncurkan merek sendiri untuk celana panjang pria yang bernama White Brown Blue (WBB). Biyani pun berhasil menjual 30.000 sampai 40.000 meter bahan setiap bulannya, kemudian membuat celana itu sendiri dan menjualnya ke pengecer. Pada 1987, Biyani memulai sebuah perusahaan baru, sebuah pabrik garmen bernama Manz Wear Private Ltd. Pakaian tersebut dijual dengan merek Pantaloon, yang dipilih oleh Biyani karena memiliki nuansa trendi dari sebuah rumah mode Italia, Pantaloon.
Manz Wear menyediakan beberapa gerai pakaian, namun Biyani ingin memperluas jangkauannya. Jadi, dia mendirikan jaringan waralaba yang hanya menjual celana Pantaloon. Pantaloon Shoppe dibuka di Goa pada 1991, kemudian memperluas lini pakaian prianya. Biyani membawa Perusahaannya masuk ke pasar saham pada 1992 untuk mendorong ekspansi lanjutannya, dan melakukan penawaran umum perdana sebesar 60% dari sahamnya di bursa Mumbai, Delhi dan Ahmadebad dan mendapatkan dana 225.000 rupee.
Pada 1994, rantai waralaba Pantaloon menghasilkan omzet 9 juta rupee. Sayangnya, kesuksesan tersebut malah menjadi boomerang bagi dia, lantaran ekspansi ke beberapa tempat tidak didukung oleh logistik yang memadai. Pasalnya staf eksekutif tidak dapat mengunjungi setiap toko untuk memantau kualitas layanan, yang memburuk di beberapa toko tua.
Selain itu, beberapa pemegang waralaba, yang bekerja berdasarkan komisi, lebih mementingkan keuntungan langsung daripada melayani pelanggan dengan baik. Akhirnya pada 1996, Biyani mulai mengeksplorasi konsep mengubah Pantaloon menjadi toko ritel berskala besar miliknya.
Dia membeli sebuah properti seluas 10.000 kaki persegi di Gariahat, Kolkata. Itu adalah ide revolusioner, karena pada saat itu, toko-toko terbesar di kota itu tidak lebih dari 4.000 kaki persegi. Biyani meyakinkan pemilik properti yang enggan untuk menyewakan tempat itu, dan pada Agustus 1997, department store Pantalon pertama diresmikan untuk umum.
Akan tetapi, Biyani tidak puas dengan mal tersebut, tahun berikutnya, dia mulai mengerjakan Big Bazaar, sebuah hypermarket yang mengusung konsep kekacauan, toko yang ramai, ribut dan agak berantakan, sesuai dengan keakraban pasar India.
Big Bazaar pertama dibuka di Kolkata pada 2001. Dalam 22 hari, dia membuka dua lagi. Sekarang, ada 100 hypermarket di seluruh India yang melayani sekitar 2 juta pelanggan dalam seminggu. Bisnisnya tumbuh dengan bangkitnya kelas menengah India, yang sekarang memiliki uang untuk dibelanjakan secara konsumeristik.
Biyani juga telah berkembang ke bidang lain, termasuk media dan asuransi. Meskipun begitu, Biyani bukan orang yang muluk-muluk. Dia hanya berpakaian serba sederhana bahkan cenderung menipu, lantaran orang tidak mengira dia adalah miliarder.
Meski sudah memiliki banyak toko, tapi Biyani masih belum meninggalkan kebiasaan lamanya. Dia senang berdiri di atrium mall mengawasi pelanggannya. Biyani mengatakan bahwa dia melakukan semua yang dia bisa untuk mengukur denyut nadi konsumen India.
Salah satu bidang di mana Biyani belum menemukan kesuksesan adalah Bollywood. Pada 2002, dia membantu membuat film Na Tum Jaano Na Hum. Namun, film tersebut banyak menerima Kritik di box office. Upaya Bollywood kedua milik Biyani adalah film 2003 Chura Liya Hai Tumne, sayangnya film ini juga gagal meraih pangsa pasar.
Meski begitu, dia tidak menganggap usaha yang tidak berhasil dalam pembuatan film sebagai sebuah kesalahan. Menurutnya, semua ini adalah proses belajar dan sebuah perjalanan.
(Rizkie Fauzian)