Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Resolusi Bisnis 2018

Koran SINDO , Jurnalis-Minggu, 31 Desember 2017 |10:18 WIB
Resolusi Bisnis 2018
(Ilustrasi: Shutterstock)
A
A
A

DI pengujung tahun ini saya akan mengisi tulisan akhir tahun dengan resolusi bisnis (semacam to-do lists ) di tahun 2018. Menariknya, resolusi ini khusus saya tujukan untuk perusahaan-perusahaan yang kebingungan karena industrinya terkena dampak disrupsi.

The 3 Disruptors: DML

Ada tiga kekuatan disruptif yang akan mengoyak lanskap bisnis 2018, yaitu digital, millennials, dan leisure (saya singkat: DML ). Daya rusak disrupsi digital terhadap perusahaan-perusahaan incumbent kian dalam dan mematikan pada tahun 2018. E-commerce mulai menjadi mainstream menggusur peritel tradisional, startup fintech pelan-pelan mulai menggerogoti bank tradisional, sharing platform mengguncang transportasi, akomodasi hingga musik/film.

Populasi milenial kini hampir mencapai 35% dari penduduk Indonesia dan dalam 5 tahun ke depan akan menjadi kekuatan pasar dominan di Tanah Air. Milenial memiliki nilai-nilai dan perilaku yang berbeda dengan generasi sebelumnya (saya sebut generational cut-off ) yang berpotensi mendisrupsi berbagai industri: FMCG, ritel, properti hingga f ashion.

Sementara itu di sektor leisure, shifting konsumen dari goods-based consumption ke experience-based consumption akan menghasilkan disrupsi di berbagai sektor seperti ritel, automotif, manufaktur, packadged food. Berikut ini adalah resolusi bisnis 2018 bagi para pemain di beberapa industri yang terdisrupsi oleh pemain-pemain startup nan lincah.

#1.Ritel: Berakhirnya Era Department Store

Tahun ini peritel tradisional mulai berguguran: Glodok dan Roxi sepi, beberapa gerai Matahari dan Ramayana tutup, Sevel bangkrut, begitu pun peritel global Dabenham, Lotus, H&M menghentikan operasinya. Sebabnya ada dua: pertama , konsumen beralih ke belanja online; kedua, mereka mengurangi belanja barang (goods ) dan menggantinya dengan pengalaman (experience ). Resolusi: Peritel tradisional harus mengusung konsep leisuretail dengan mencangkokkan leisure ke dalam model bisnis ritel. Di samping itu mereka harus mengembangkan strategi goomnichannel memperluas akses ke konsumen baik offline, online maupun mobile.

#2.Bank: Maraknya Fintech

Penetrasi fintech dalam mengakses produk-produk keuangan mempermudah transaksi dan meningkatkan literasi keuangan kian dalam. Startup fintech kian agresif melakukan penetrasi ke berbagai portofolio bisnis layanan keuangan mulai dari pembayaran (payment), peminjaman (lending ), perencanaan keuangan (personal finance ), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding ), remitansi hingga riset keuangan. Resolusi : Collaborate atau buy dengan fintech startup (opsi build kurang begitu realistis karenabudayakerjabanktakcukup agile dan speed untukmembangun fintech sendiri).

#3.Payment: Growing from the Core

Kisah sukses Gopay mengembangkan bisnis menggambarkan pentingnya membangun ekosistem digital, bukan sekadar apps. Berawal dari layanan ojek online (Go-Ride ), Go-Jek melebarkan cakupan layanannya mulai dari Go-Car, Go-Food, Go-Send, Go-Mart, Go-Box hingga Go-Tix.

Untuk melayani transaksi seluruh lini layanan tersebut dibutuhkan alat pembayaran, maka lahirlah Go-Pay. Polanya sama, Go-Pay pun kemudian melebarkan sayapnya ke berbagai lini layanan lain seperti Go-Bill, G-Point hingga Go-Pulsa. Tahun 2018 nanti bahkan Go-Pay akan mandiri keluar dari ekosistem Go-Jek.

Ada pola yang sama dalam perjalanan Go-Jek mengembangkan bisnis transportasi online dan layanan keuangan, yaitu fokus di core business dan core customers, kemudian secara bertahap dan konsisten melebar ke bisnis-bisnis lain (adjacent business ). Resolusi : Bagi pemain in c umben t bank dan telko yang masuk ke bisnis fintech pembayaran: mulailah dari core business dan core customer, kemudian melebar ke layanan dan bisnis yang lain.

#4.Telco: Transformasi Digital

Sektor lain yang babak-belur terdampak disrupsi adalah telko. Pendisrupsinya adalah OTT (over -the -counter ) services yang tak lain adalah para raksasa global seperti Google, Apple, atau Facebook. Pertengahan tahun 2017 Ooreedo telah lempar handuk tanda menyerah dengan menghentikan bisnis digitalnya (Cipika dan Dompetku).T-Cash Telkomsel juga seperti jalan di tempat tak selincah Go-Pay.

Apa yang terjadi jika the big Three (Telkomsel, XL, dan Ooreedo) tidak masuk ke ranah digital dan masih terkungkung di bisnis jaringan? Mereka akan menghadapi pasar yang tak sustainable karena ancaman komoditisasi. Resolusi: Jangan menyerah, membangun bisnis digital memang tak gampang bagi pemain telko. Kuncinya tetap satu: transformasi digital.

 

#5.Taxi: Empire Strikes Back!

Blue Bird bisa menjadi model sukses perusahaan in c umben t yang terdampak tsunami digital, belajar cepat, beradaptasi cepat, dan kemudian menemukan tr e k nya kembali. Setelah berjuang 3 tahun terakhir, Blue Bird akhirnya menemukan diferensiasi layanannya bila dibandingkan dengan taksi online . Blue Bird identik dengan ”sopirnya hafal jalan”, ”mobilnya standar dan bersih”, atau ”tak pernah membatalkan order”.

Sementara taksi online kuat dipersepsi sebagai taksi yang ”pilih-pilih penumpang”, ”merepotkan penumpang karena kebingungan memilih jalan”, atau ”sering tertangkap di jalur ganjilgenap”. Resolusi : Untuk layanan seperti taksi, kuncinya tetap di orang (sopir). Karena itu tetap konsisten untuk terus membangun talent dan strong culture .

YUSWOHADY

 

Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com

(Widi Agustian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement