JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan sambutan dalam acara Jakarta Food Security Summit ke-4 yang bertemakan 'Pemerataan Ekonomi Sektor Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Melalui Kebijakan dan Kemitraan'.
Dalam sambutannya, Jusuf Kalla juga kerap kali menyinggung Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang juga hadir dalam acara tersebut.
Orang nomor dua di Indonesia ini, mengatakan, pertumbuhan penduduk terjadi sebesar 3% tiap tahun, oleh sebab itu teknologi pangan dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Hal ini pun menjadi tugas berat bagi Kementerian Pertanian.
"Mentan ini menteri yang engga pernah ke kantor. Dia harus ke lapangan terus. Kebutuhan pangan terus bertambah, ini tugas Menteri Pertanian jauh lebih keras dari sekarang," ujar dia dalam sambutannya pada JFSS-4, JCC Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Oleh sebab itu, kata dia, salah satu permasalahan yang harus diperbaiki untuk ketahanan pangan adalah keakuratan data pertanian.
“Ini kita juga harus memperbaiki data-data. Data pertanian tidak sesuai lapangan. Padi misalnya, BPS masih bingung berapa produksi hari ini,” ujar dia.
Dia mengungkapkan, mengenai keakuratan data ini harus diselesaikan bersama-sama. Pasalnya keakuratan data bukan hanya soal padi, tapi juga pada produk pertanian lainnya.
“Ini penting untuk bersama-sama diseleaikan. Dilema-dilema data ini butuh perbaikan, pejabat kita tentu harus bekerja lebih keras lagi. Ini memang masalah pemerintah,” ujarnya.
Disisi lain, Wapres juga menyinggung kebijakan Mentan dalam proyek pencetakan sawah Kementerian Pertanian yang melibatkan TNI Angkatan Darat (AD). Menurutnya, ketahanan pangan tidak selamanya bisa bertahan dengan program ini.
"Meski Mentan kerahkan TNI AD ga mempan. Jangan terus-terusan itu Pak Menteri andalkan proyek ini. Karena yang jadi permasalahan juga pendapatan petani berkurang," tukasnya.
Menurut Jusuf Kalla, ketahanan pangan juga bukan soal jumlah produksi yang mencukupi kebutuhan tapi juga soal tingkat kesejahteraan petani.
Dia menjelaskan, meski harga beras terus melambung tinggu tapi tak diikuti kesejahteraan petani. Menurut perhitungannya setiap satu keluarga petani hanya mampu mendapatkan Rp1 juta per bulan.
"Ini jauh dari Upah Minimum Regional (UMR) di daerah mana pun. Mereka itu mau pendapatan yang lebih tinggi. Kalau ga ada sistem logistik yang baik maka daya beli petani ga seimbang. Harga jagung murah tapi beli sabun aja mahal," ujar dia.
Oleh sebab itu, kata dia, penting untuk mendorong teknologi pangan. Sebab produksi negara lain bahkan bisa capai 8 juta ton per hektare, sedangkan Indonesia hanya mampu 5,5 juta ton per hektare. Indonesia pun akan mampu mencapai produksi tersebut apabila menggunakan teknologi yang sama.
"Ini harus ada pemerataan penghasilan. Riset teknologi harus dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha, karena ga mungkin petani yang lakukan riset," ujar dia.
Pasalnya kata dia, petani memang telah bekerja sangat keras untuk menghasilkan produksi pertanian. Namun ini juga harus diimbangi dengan kemajuan teknologi pangan.
“Jadi petani bukan hanya bekerja keras, tapi bekerja smart. Sistemnya harus baik,” pungkasnya.
(Fakhri Rezy)