JAKARTA – Investor asing selaku sumber pembiayaan startup lokal dinilai mulai mengkhawatirkan pertumbuhan perekonomian nasional.
Startup lokal dengan dominasi modal asing dalam jangka pendek dinilai akan merugikan kedaulatan ekonomi. Ekonom Institute for Development on Economic (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, sekitar 93% barang yang dipasarkan melalui platform lokal seperti Tokopedia, dan Bukalapak misalnya selama ini lebih banyak berupa produk impor.
Hal itu menyebabkan sulitnya menyediakan tempat untuk produk usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Persaingan bisnis melalui media platform digital menurutnya dari sisi harga produk impor akan selalu lebih murah daripada produk lokal milik UMKM.
Hingga 2019 kepemilikan asing pada platform lokal mendominasi startup lokal antara lain Tokopedia, Traveloka, dan Go-Jek. Mayoritas pendanaan berasal dari investor pembiayaan keuangan seperti grup ventures hingga platform besar seperti Alibaba, Sequoia, Tensent, dan JD.Com.
Baca Juga: Soal Investasi Asing ke StartUp, Kepala BKPM: Sejauh Ini Dampaknya Positif
Di penghujung 2018 Tokopedia misalnya mendapatkan suntikan dana dari TechinAsia sebesar USD1 miliar (Rp14,2 triliun) dan Softbank Vision Fund dan Alibaba sebesar USD1,1 miliar (Rp14,85 triliun).
Sementara itu, Go-Jek pada 2018 tak henti-hentinya mendapatkan kucuran dana di antaranya dari Google (USD100 juta), Tensent, JD, Temasek (USD1,2 miliar), hingga suntikan dana dari anak perusahaan Djarum yaitu PT Global Digital Niaga.
Di awal 2019 Go-Jek kembali mendapat kepercayaan dari investor asing yang menginvestasikan dananya sebesar USD920 juta. Sedangkan Traveloka pada 2015 hingga 2017 ikut mendapatkan kepercayaan investor asing seperti Expedia, East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD, dan Sequia Capital dengan total nilai sebesar USD850 juta.
Besarnya nilai investasi asing ini, menurut Bhima, rentan disalahgunakan untuk kepentingan intelijen asing. “Ada praktik pemanfaatan data konsumen di Indonesia untuk kepentingan bisnis investor asing yang menyuntik modalnya ke startup lokal. Data is the new oil, jadi masalah data ini sangat penting bagi ekonomi digital Indonesia,” tutur Bhima kepada KORAN SINDO. Bhima turut menyoroti repatriasi keuntungan para investor yang dibawa ke luar negeri.
Menurutnya, investor asing akan membawa hasil keuntungannya ke luar negeri. Hal ini dapat membuat pemasukan utama transaksi ekonomi semakin defisit serta berbahaya bagi stabilitas kurs rupiah. “Karena keuntungan bisnis di Indonesia akan dikonversi ke mata uang negara lain,” tandasnya.
Startup yang mayoritas perusahaannya mendapatkan kucuran dana investor asing, menurutnya, akan berdampak pula pada penggunaan tenaga kerja asing. “Dalam konteks Go-Jek misalnya IT developer outsourcing ke Bangalore, India. Dengan demikian, maka tenaga kerja yang memiliki keahlian di Indonesia belum dapat dioptimalkan,” tutur Bhima. Meski demikian, dia tetap menilai masuknya investor asing tetap memiliki sisi positif bagi startup lokal.
Suntikan dana yang nilainya sangat besar dapat membuat platform tersebut melakukan pengembangan bisnis. Di sisi lain, bank dalam negeri yang masih terkendala regulasi dan prinsip kehati-hatian masih sulit untuk menyalurkan modal ke startup.
Mengalirnya modal asing telah mengisi celah dalam bentuk modal ventura untuk membantu permodalan startup. “Sedangkan sumbangan dari sisi perpajakan selama ini masih sulit untuk diketahui datanya karena keterbatasan data pemerintah terkait investasi di sektor digital,” jelasnya.
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara menilai, besarnya modal investor asing kepada startup lokal yang sudah menjadi unicorn sangat positif. Menurutnya, investor keuangan asing akan tetap dikontrol oleh para pendiri startup sehingga cukup hanya menjadi komisaris di perusahaan tersebut.
Investor asing dapat menjadi bagian dalam struktur organisasi perusahaan, namun tetap dalam koridor yang telah disepakati. Dengan demikian, venture capital yang menjadi investor keuangan tidak akan menjadi bagian dari manajemen operasional.
Rudiantara mencontohkan startup digital raksasa asal China yang dibangun oleh Jack Ma mendapatkan suntikan dana dari Jepang dan Amerika Serikat. Jack Ma sendiri hanya memiliki saham satu digit, sedangkan Softbank memiliki 30% dan Yahoo 20%.
“Pemegang saham pengendalinya tetap Jack Ma sebagai founder. Saya yakin, founder pada unicorns Indonesia juga akan memiliki kontrol atas aksi korporasi tertentu yang mungkin dilakukan pada masanya,” ungkapnya.
Rudiantara juga menampik jika memberikan proteksi berlebihan kepada startup yang mendapat bantuan asing. Baginya, semua diperlakukan sama terutama soal pajak.
Menurutnya, apa yang terjadi di dunia offline juga terjadi di dunia online. Senada dengan Menkominfo, pengamat digital Daniel Tumiwa mengaku tidak khawatir dengan bantuan pihak asing bagi startup di Tanah Air.
Dia berharap pemerintah membuka seluas-luasnya investasi bagi investor asing, terlebih untuk sektor-sektor yang masih belum dikuasai investor lokal. “Investor itu juga kan butuh pengalaman, tidak semuanya dapat menguasai berbagai sektor.
Khusus teknologi di Indonesia juga belum ada yang ahli,” ujar Daniel. Mantan CEO OLX ini mengungkapkan, startup yang mayoritas didominasi oleh anak muda ini juga tidak sekadar mencari pendanaan.
Namun, mereka juga mencari smart money atau mencari pengalaman serta jaringan investor lain. “Investor asing dapat memberi masukan juga, apa yang harus dilakukan misalnya teknologi terbaru apa yang harus dipakai dan sebagainya. Kemungkinan suksesnya startup ini lebih cepat dan pasti,” tutur Daniel.
Jika dibandingkan dengan investor lokal yang umumnya berasal dari sektor pertambangan, Daniel mengibaratkan jika pengusaha batu bara menyuntikkan dana ke startup e-commerce, otomatis investor tersebut tidak akan memahami sistem dan startup pun tidak mendapatkan ilmu tambahan dari investor mereka.
Menurutnya, pemerintah juga harus memberikan aturan yang ketat agar investasi asing berjalan maksimal. “Fokusnya adalah bagaimana membuat aturan agar uang yang masuk ke Indonesia bertahan lama. Misalnya saja diberi keringanan pajak, tetapi dana investasi dapat ditarik dalam kurun waktu 20-30 tahun,” tandasnya.
(Ananda Nararya)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)