Gbenro secara formal meluncurkan bisnis pemasaran media sosialnya, Olumide Gbenro Monetisasi Merk, pada 2018 kala masih di San Diego.
Gbenro mengatakan, bagian paling menantang dalam membangun kehidupan barunya di Bali adalah berjuang melawan kesepian.
“Saya pergi ke pantai setiap hari, minum kelapa dan melihat matahari terbenam yang indah, tetapi saya tinggal sendiri dan tidak punya teman di sini,” jelasnya.
Begitu dia mulai mengunjungi ruang kerja bersama di Bali dan menghadiri acara networking secara langsung, menurutnya menjadi lebih mudah untuk membangun persahabatan dekat dengan penduduk lokal lainnya.
Dia bisa bahasa Indonesia, tetapi banyak orang yang tinggal di Bali justru berbicara Inggris.
“Saya benar-benar dicintai dan disambut oleh orang Bali,” ucapnya.
“Semua orang selalu tersenyum, ada nada yang benar-benar tulus dan berpusat pada hati di sini yang tidak bisa anda dapatkan di tempat lain,” tambahnya.
Gbenro mengatakan, dia tidak mengalami ketidaknyamanan dan diskriminasi yang sama seperti yang dia hadapi di Amerika Serikat.
“Bali tidak memiliki sejarah yang sama dengan Amerika terkait rasisme dan diskriminasi. Menurut saya, mereka lebih menerima orang asing dan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Orang hanya melihat saya sebagai sesama manusia, bukan orang kulit hitam,” jelasnya.
Dia juga menganut beberapa tradisi lokal dalam rutinitas sehari-harinya.
Di mana, setiap pagi dia bangun pukul 8 dan bermeditasi sebelum menyeduh secangkir teh dan memeriksa emailnya.
Meditasi telah lama menjadi bagian dari agama Hindu, yang merupakan agama populer di Bali.
“Ini keputusan terbaik yang pernah saya buat,” tegasnya.
Dia berencana untuk menghabiskan sisa hidupnya di Bali dan memiliki rumah di San Diego, Turki dan Karibia yang bisa dikunjungi beberapa kali dalam setahun.
“Sesuatu tentang Bali membuat saya di sini. Akhirnya terasa seperti di rumah,” katanya.
(Zuhirna Wulan Dilla)