Larangan Ekspor Tidak Diperlukan
Pengamat Ekonomi CELIOS Bhima Yudhistira menilai kebijakan pelarangan sementara ekspor bahan baku minyak goreng merupakan langkah yang tergesa-gesa, yang menurutnya dilakukan pemerintah untuk memberikan shock therapy kepada para pengusaha sawit yang nakal.
Namun, sayang kebijakan ini berdampak pada seluruh ekosistem di dalam industri ini, utamanya petani yang harus menerima kenyataan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang terjun rata-rata 30 persen dalam kurun waktu beberapa hari ini.
Ia juga melihat bahwa kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk menurunkan harga minyak goreng di pasaran, karena para produsen sawit secara otomatis akan membebankan kehilangan omset dari ekspor RBD Palm Oilen kepada harga minyak goreng.
“Indonesia juga bisa dianggap berkontribusi terhadap kenaikan inflasi global, dan di saat yang bersamaan Indonesia sebagai Presidensi G20 maka yang di dorong adalah soal koordinasi perdagangan dan investasi antar negara, jadi proteksionisme ini kontradiksi dan ini bisa hambat banyak kerja sama karena bisa dianggap Indonesia membuat kebijakan yang mendadak dan kita tidak dalam rezim perang dagang,” tuturnya.
Petani Sudah Terlanjur Merugi
Sementara itu, dalam siaran pers yang diterima oleh VOA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung menyambut baik kebijakan ini, meski menilai larangan ekspor khusus untuk jenis RBD Palm Olein terlambat, sehingga memberi ruang dan waktu kepada para spekulan untuk memainkan harga TBS petani sawit.
Ia yakin secara matematis dan ekonomis seharusnya larangan ekspor RBD Palm Oilen ini tidak akan mempengaruhi konsumsi TBS dan harga TBS petani.