Addis bukan satu-satunya yang seperti itu.
“Mereka tidak kasat mata,” katanya.
BBC telah berbicara dengan sejumlah pria dan perempuan lanjut usia di seluruh dunia untuk memahami dampak krisis inflasi global.
Testimoni mereka menunjukkan kerentanan ekstrem, ketergantungan meningkat terhadap badan amal, dan kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
“Data mengenai warga lansia benar-benar tak ada,” kata Claudia Mahler, ahli independen Perserikatan Bangsa Banga (PBB) terkait hak asasi warga lansia, kepada BBC.
“Mereka ditinggalkan dalam upaya mendukung sistem karena mereka tidak kasat mata,” katanya, ia menambahkan bahwa kelompok-kelompok lain yang lebih vokal seringkali membuat suara mereka tidak terdengar.
Penelitian baru yang melibatkan 10 negara yang dilaksanakan oleh HelpAge -sebuah jaringan amal yang didanai oleh Lembaga internasional- menunjukkan bahwa warga lansia sedang mengambil “langkah-langkah drastis untuk bertahan hidup”.
Mulai dari mengemis untuk pertama kalinya hingga menolak perawatan rumah sakit.
“Anda melihat saya sakit. Saya berbaring di rempat tidur. Jika saya tidak mendapatkan bantuan, saya hanya bisa menunggu kematian,” kata Meseret Addis sambil menarik selimut untuk melindungi diri dari dinginnya kamar tidur itu.
Di tempat tidur berbeda, lebih dari 4.000 kilometer jauhnya, di ibu kota Lebanon, Beirut, Alice Chobanian, berusia 67 tahun, menghadapi kesulitan yang serupa.
“Saya tidak mau membicarakan sudah berapa kali saya berusaha untuk bunuh diri,” kata dia.
Para ahli mengatakan dampak psikolgis dari krisis inflasi global sangat berat bagi masyarakat menua.
“Depresi tidak dianggap sebagai depresi [pada lansia]. Depresi hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan usia [lanjut], sesuatu yang ‘tidak terlalu serius’ . Tetapi ini adalah masalah besar yang benar-benar diabaikan,” kata ahli PBB Claudia Mahler.
Chobanian tinggal dalam kamar kecilnya di ibu kota Lebanon bersama 10 orang secara keseluruhan, dua anak perempuannya yang baru cerai dan delapan orang anaknya.
Ia mengatakan kondisi keuangan keluarganya sudah menjadi semakin parah sejak 2020 dan “keadaan tidak pernah sesulit sekarang".
Krisis yang tumpang-tindih
Program Pangan Dunia PBB mencatat jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut meningkat dari 135 juta orang pada 2019 menjadi 345 juta orang pada 2022.
Selain Covid dan perubahan iklim, invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 juga menyebabkan disrupsi global dari segi rantai pasokan makanan, energi, dan obat-obatan serta meroketnya inflasi.
Lebanon sudah menghadapi krisis bahkan sebelum perang dan inflasi pangan mencapai 372,8% tahun lalu.
“Cucu perempuan saya suka berjalan melewati restoran ayam hanya demi mencium bau ayam,” kata Chobanian.
“Kemarin mereka bilang mereka lapar. Saya tidak bisa memberi mereka apa-apa dan mereka berkata ‘Mari kita tidur dan berharap dapat bermimpi ayam”.
Chobanian mendapatkan USD20 per bulan, setara dengan Rp297.613, dari pekerjaan anak perempuannya sebagai perawat.
“Sebelum krisis ini, saya sempat menjual pakaian rajutan. Dengan adanya krisis, [orang-orang] tidak ada yang membeli apa-apa. Apa yang saya buat dinilai barang mewah dan orang tak sanggup membayar,” ujarnya.
(Taufik Fajar)