Masalah lain adalah masih tingginya inflasi global, meskipun sudah mengalami penurunan dibandingkan masa puncaknya, yaitu 2022-2023. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut perkara ini menyebabkan tekanan suku bunga global masih relatif tinggi.
“Ada harapan bahwa suku bunga global, ini maksudnya di negara-negara maju, akan mulai menurun, namun harapan ini akan sedikit di rem,” ucap dia.
Di dalam pertemuan G20, lanjut dia, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed dan Eropa melihat bahwa angka inflasi dunia masih cukup tinggi. Oleh karena itu, kebijakan suku bunga atau policy rate masih menunggu penurunan tren inflasi.
“Mereka akan melihat angka inflasi dan underline faktornya yang masih dianggap cukup tinggi dan bertahan. Oleh karena itu, kebijakan suku bunga mereka policy rate-nya juga mungkin masih harus menunggu sampai bisa diyakinkan inflsdinya bisa turun,” tuturnya.
Sri Mulyani memandang, suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang panjang juga menekan inflasi. Di sisi lain, fragmentasi global ekonomi melalui kebijakan proteksionime juga banyak menekan Purchasing Managers Index (PMI) di berbagai negara.
“Negara-negara seperti di Eropa masih mengalami PMI yang kontraktif. Ini semua lah yang menyebabkan GDP global tahun 2024 masih akan lemah atau belum pulih dibandingkan tahun lalu,” kata dia.
(Taufik Fajar)