Karena tanpa cost recovery, kontraktor migas seperti tidak mendapat insentif untuk merambah ke wilayah green field atau sumur dan cadangan baru. Mereka akan lebih senang bermain di area brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan.
"Makanya ketika skema cost recovery berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika itu terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara dari sektor migas menurun," katanya yang juga Direktur Center for Energy Policy.
Sebelumnya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dan PT Pertamina (Persero) pekan lalu, Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro mengatakan, sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menunjukkan tanda-tanda akan mengalami kenaikan produksi.
Untuk itu, ujarnya pula, dibutuhkan dukungan untuk memperbaiki fiscal term di sektor hulu migas. Melalui perbaikan fiscal term, diharapkan bisa mendorong optimalisasi produksi migas.
Terkait perubahan kontrak, pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto juga sependapat dan menilai rencana perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery untuk Blok Rokan cukup beralasan.
Skema kontrak gross split, menurut dia, bakal memberatkan Pertamina Hulu Rokan untuk melanjutkan investasi besar-besaran di blok tersebut.
"Sebenarnya memang tidak pernah cocok gross split untuk lapangan yang masih butuh pengembangan berisiko dan kapital besar," katanya.
Dia menyatakan lagi, rencana investasi dan pengembangan Pertamina untuk Blok Rokan saat ini masih relatif berisiko tinggi, di sisi lain, perusahaan mesti menganggarkan kebutuhan investasi yang intensif untuk menahan penurunan lifting minyak dari blok tersebut.
(Dani Jumadil Akhir)