JAKARTA - Masyarakat tidak mampu sangat dimudahkan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Mereka mendapatkan layanan kesehatan gratis melalui KIS. Sejak diluncurkan 2014, KIS dinilai sebagai kartu ajaib karena banyak membantu masyarakat mendapatkan layanan kesehatan hingga sembuh.
Program layanan kesehatan yang diluncurkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini dinilai sukses, khususnya dalam hal menjangkau masyarakat golongan menengah ke bawah untuk mendapatkan akses kesehatan gratis.
Kehadiran KIS ini juga dirasakan manfaatnya oleh ibu-ibu hamil di seluruh daerah di Indonesia. Bukan hanya biaya persalinan, biaya kontrol dan pengobatan ibu hamil juga terpenuhi oleh KIS.
Hal itu disampaikan Jeni Ekariyantama. Terlahir dari keluarga yang tidak mampu, dia dan kedua orang tuanya lantas berinisiatif membuat KIS pada tahun 2015.
Menurut perempuan yang akrab disapa Eka ini, saat itu proses pembuatan kartu tersebut cukup mudah. Dia hanya perlu menyiapkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk membuat pengantar dari kelurahan seusai mendapat pengantar dari RT/RW setempat.
Eka lalu pergi ke puskesmas terdekat untuk meminta surat pengantar pendaftaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan agar mendapatkan kartu KIS tersebut. Setelah dokumen lengkap, dia datang langsung ke kantor BPJS Kesehatan terdekat.
Saat itu memang cukup antre. Namun, menurutnya, jika mengikuti prosedur, proses untuk bisa mendapatkan KIS tidak memakan waktu yang lama. Dalam tempo tiga hari, Eka dan keluarganya langsung mendapatkan KIS sebagai kartu BPJS untuk peserta BPJS PBI atau Penerima Bantuan Iuran dari pemerintah.
"Intinya saat itu gampang-gampang saja sih, karena ada petugas yang mengarahkan. Jadi setelah antre, Kartu KIS itu langsung jadi," tutur Eka saat diwawancara di Rumah Sakit Bhakti Asih, Ciledug, Tangerang.
Kartu Ajaib
Sejak saat itu, Eka dan keluarganya lantas mulai merasakan betul manfaat KIS tersebut. Mereka tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk berobat. Mulai dari saat sakit tifus, demam berdarah, hingga penyakit kronis lain seperti diabetes yang diderita oleh sang ibu. Bahkan, saat ia hamil hingga melahirkan kedua anak kembarnya pada tahun 2021.
Saat ini, Eka tengah mengandung buah hatinya yang ketiga. Tentu saja, dia kembali mengandalkan 'kartu ajaib' tersebut selama proses kontrol.
Menurut Eka, KIS bak 'kartu ajaib' baginya. Sebab, selama kebutuhan kontrol kehamilan hingga persalinan, ia tak mengeluarkan uang sepeser pun! Mulai dari USG atau ultrasonografi hingga memperoleh obat-obatan dan vitamin.
"Ya, bisa dibilang ini kayak kartu ajaib ya. Aku tiap bulan kontrol kehamilan di klinik faskes (fasilitas kesehatan) 1 pake KIS, gratis. Dapat vitamin plus USG dua kali," kata Eka, semringah.
Bahkan, kata Eka, jika flu atau batuk saja dia tetap memeriksakan diri memakai KIS. "Gratis dan dapet obat. Saat itu juga bisa pilih faskes 1 kalau kejauhan dari rumah," ujarnya.
Menyebut KIS sebagai ‘kartu ajiab’ bukanlah tanpa alasan. Sebab, kata Eka, untuk mendapatkan pengobatan dan fasilitas kesehatan, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jangankan untuk berobat, mendapatkan uang untuk makan saja susahnya bukan main. Apalagi, sang suami masih kerja serabutan sambil menjadi penjaga toko.
Upah suami sebesar Rp2 jutaan per bulan tentu saja tak cukup untuk pengobatan atau bahkan untuk kontrol kehamilan. Menurut Eka, dia dan keluarga sangat bergantung dengan kartu KIS untuk mendapatkan akses pengobatan dan kesehatannya selama ini.
Apalagi, Eka dan suami tak perlu mengeluarkan iuran apa pun setiap bulannya. "Bersyukur banget, karena memang terbantu sekali. Menurutku Kartu KIS ini kalau tepat sasaran, ya jadinya sangat membantu orang-orang miskin seperti kami ini," katanya.
Eka juga menceritakan pengalamannya saat pertama kali menggunakan KIS untuk melahirkan kedua buah hatinya yang kembar pada 2021.
Eka yang tinggal di rumah kontrakan dua petak di kawasan Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, lantas memilih kontrol kehamilannya di Puskesmas Rawa Buntu.
Saat momen kelahiran anaknya tiba, dia kemudian langsung dirujuk ke Rumah Sakit Pena 98 Gunung Sindur, Jawa Barat. Dari awal kontrol kehamilan hingga proses persalinan, Eka mengaku cukup dipermudah. Dia bahkan mendapat fasilitas ambulans yang mengantarnya ke rumah sakit rujukan.
"Karena waktu itu memang kondisinya sudah enggak memungkinkan dan bukaan hampir lengkap, jadi sampai dikasih fasilitas ambulans menuju rumah sakit rujukan," tuturnya.
Kedua buah hatinya yang kembar dan berjenis laki-laki itu lantas lahir dengan selamat dan sehat melalui proses persalinan secara caesar.
Dalam waktu dekat, Eka berencana kembali melakukan persalinan dengan memanfaatkan KIS, yang disebutnya kartu ajaib itu.
Diketahui, KIS adalah program kesehatan yang diluncurkan di bawah pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2014. Kartu ini merupakan salah satu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemberian layanan kesehatan bagi seluruh warga Indonesia.
KIS merupakan kartu jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk masyarakat kurang mampu, yaitu Penyandang Masalah Kesejateraan Sosial (PMKS) dan bayi yang lahir dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang belum mendapatkan jaminan.
Tak hanya memberikan layanan kesehatan, KIS juga bertujuan agar peserta dapat mengakses informasi terkait tindakan pencegahan. Selain itu, untuk mengetahui lebih jauh akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh, serta deteksi dini penyakit bagi masyarakat PMKS di fasilitas kesehatan.
Masyarakat PMKS yang dimaksud di sini adalah kelompok orang-orang yang tidak mampu untuk menopang kehidupan perekonomian secara mandiri sehingga tidak bisa hidup secara layak.
Beberapa kriteria peserta PMKS antara lain anak atau lansia telantar, anak atau lansia yang berada di panti asuhan, anak korban kekerasan yang tinggal di panti asuhan atau rumah singgah, gelandangan, pengemis, dan pemulung yang tidak punya rumah tetap.
Sementara itu, seorang karyawan asal Pondok Gede, Wahyu Ari Wibowo (30), mengatakan dirinya sempat mendapatkan KIS ketika masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Lantaran anggota keluarganya terbilang banyak, Wahyu mengatakan saat itu dirinya ikut mendaftar KIS karena adanya tawaran dari pengurus RT setempat secara kolektif.
"Dulu punya KIS pas tahun 2018-an, usia 22 lah. Tapi sekarang sudah diupgrade jadi BPJS karena tawaran dari kantor. KIS itu membantu sekali terutama saat itu almarhum saya sempat dirawat selama tiga tahun karena kanker hati," ungkap Wahyu.
Wahyu mengulas pengalaman mendiang ayahnya ketika berobat saat didiagnosa mengidap kanker hati pada tahun 2020. Selama tiga tahun, Wahyu mengatakan biaya pengobatan ayahnya tersebut, jika tidak ditanggung KIS, bisa mencapai ratusan juta rupiah.
"Ayah saya itu diperiksa di Puskesmas Kanaya, daerah Pondok Gede, saat itu diduga karena gejala Maag akut. Setelah itu dirujuk ke Rumah Sakit Haji. Dirujuk kesana karena kebetulan domisili rumah saya lebih dekat ke Jakarta Timur," terang Wahyu.
Setelah dirawat selama dua minggu di RS Haji, Wahyu mengatakan ayahnya pun dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati, Pondok Labu, karena dibutuhkannya alat medis pemeriksaan yang lebih lengkap. Sembari menunggu hasil dan dirawat di RS Fatmawati selama seminggu, Wahyu melanjutkan, mendiang ayahnya dipindahkan ke Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat, dikarenakan kondisi kanker hati yang baru diketahui sudah kronis.
"Jadi total dirawat selama tiga tahun untuk mendiang ayah saya. Kalau tidak pakai KIS, biayanya bisa ratusan juta rupiah. Soalnya ada kakak sepupu saya sebelumnya juga dirawat karena kanker otak, tetapi tidak sampai setahun itu bisa kena Rp200 juta. Bagaimana biaya almarhum bapak saya kan," tutur Wahyu.
(Dani Jumadil Akhir)