Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Perbandingan Efisiensi Anggaran ala Prabowo Rp306 Triliun dengan Argentina, Lebih Efektif Mana?

Alifya Amari Poetry , Jurnalis-Selasa, 11 Februari 2025 |10:13 WIB
Perbandingan Efisiensi Anggaran ala Prabowo Rp306 Triliun dengan Argentina, Lebih Efektif Mana?
Perbandingan Efisiensi Anggaran ala Prabowo Rp306 Triliun dengan Argentina, Lebih Efektif Mana? (Foto: Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Efisiensi anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo dinilai sebagai respons terhadap kebutuhan program-program baru. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEB UI) menilai menilai efisiensi anggaran bukan hasil perencanaan fiskal jangka panjang yang matang.
Dalam laporannya, LPEM FEB UI mengungkap efektivitas kebijakan efisiensi anggaran, dampaknya terhadap ekonomi, serta sejauh mana inisiatif-inisiatif tersebut selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan. LPEM FEB UI pun membandingkan kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan Indonesia dan Argentina

1. Efisiensi Anggaran di Indonesia

Pemerintahan Presiden Prabowo meluncurkan berbagai program besar yang berpotensi memberi tekanan pada keuangan negara. Sebelum beliau menjabat, Indonesia sudah mmemiliki anggaran terbatas, sepertu negara berkembang lainnya. Untuk menghadapo pembiayaan program-program barunya, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1/2025 yang fokus pada efisiensi belanja negara.
- Langkah Efisiensi Belanja : 
Total Pengurangan Belanja Rp306,69 triliun (8,4% dari belanja APBN)
Efisiensi Belanja Kementrian Lembaga Rp256,10 triliun (pengurangan 22,1%)
Pemotongan Transfer ke Daerah Rp50,59 triliun (pengurangan 5,5%)

Kementrian Keuangan juga mengeluarkan surat untuk merinci 16 jenis belanja operasional yang akan dipangkas. Pengurangan kabarnya tidak mempengaruhi anggaran bantuan sosial. Namun, rencana pemerintah malah meningkatkan efisiensi belanja fiskal ini mtampak tidak koheren dan cenderung kontraproduktif dengan langkah sebelumnya. 
Jika mengingat kembali keputusan Pemerintah sebelumnya untuk memperbesar kabinet, hal itu justru bertolak belakang dengan upaya penghematan. Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh mengenai konsistensi strategi fiskal pemerintah.

2. Efisiensi Anggaran di Argentina

Jika dibandingkan dengen kasus krisis ekonomi di Negara Argentina yang mewarisi pengelolaan ekonomi buruk dari rezim sebelumnya. Argentina dipimpin oleh Javier Milei yang resmi menjabat pada Desember 2023, dengan kondisi awal Tingkat kemiskinan yang mencapai titik tertinggi sejak 2002, Isolasi Ekonomi seperti tidak dapat mengakses pasar keuangan internasional selama 4 tahun lebih, PBD per kapita yang turun sejak 2008, dan inflasi sebesar 211% (tertinggi kedua di dunia). 
Dengan kondisi perekonomian tersebut, Milei melakukan langkah-langkah penghematan dengan fokus utama: 
- Mengurangi inflasi dan mencapai keseimbangan anggaran yang dianggap hampir mustahil oleh banyak orang
- Membentuk kementrian baru, kementrian Deregulasi dan Transformasi Negara. Dipimpin Frederico Stuzerngger, lulusan PhD Ekonommi dari MIT dan mantan Presiden Bank Sentral Argentina.
- Menerapkan Strategi “Chainsaw” yaitu memangkas birokrasi pemerintah secara besar-besaran.
- Langkah-langkah tersebut mengakibatkan 18 Kementrian, 200 Direktorat Lembaga dan 100 Sekretariat ditutup, 30.000 pegawai negeri (sekitar 10% dari total pegawai pemerintah pusat) diberhentikan, pengurangan belanja fiksal sekitar 31% dalam 10 bulan pertama menjabat.
Namun, hasil dari langkah Milei dalam tahun pertama (2024) membuahkan Surplus Fiskal (setelah 14 tahun), Inflasi yang berhasil turun 117% (93,6% lebihh rendah dari 2023), dan mencatat pertumbuhan PDB positif di Triwulan III 2024. Kebijakan Milei berhasil mengurangi inefisiensi pengeluaran fiskal secara drastis, bahkan menginspirasi pembentukan Departmenr of Goverment Efficiency (DOGE) di AS. 

 

3. Dampak Efisiensi

Saat ini, Indonesia memiliki tujuan yang sama dengan Argentina dalam meningkatkan efisiensi angggaran negara. Argentina mengilustrasikan keberhasilannya dengan mengurangi ukuran birokrasi secara agresif, sementara Indonesia justru cenderung memperbesar jumlah kabinet. Sedangkan, risiko utama dari jumlah menteri yang terlalu banyak dalam kabinet adalah meningkatnya beban anggaran negara. 
Indonesia sendiri sudah memiliki ruang fiskal yang terbatas, sehingga penambahan anggaran untuk birokrasi dapat semakin membebani keuangan negara. Sulit memperkirakan secara pasti tamahan biaya akibat kabinet yang lebih besar, namun data anggaran pemerintah pusat dapat memberi gambaran. Pada 2025, anggaran naik Rp214,74 triliun (8,6%) dari 2024.
Kemungkinan besar pelebaran kabinet ini akan berdampak pada dua pos seperti: 
- Belanja pegawai naik 13,1% (Rp60,59 triliun), jauh di atas rata-rata 10 tahun terakhir (6,5%) 
- Belanja barang naik 11,4% (Rp49,97 triliun), melampaui rata-rata historis (10,9%)
- Selain itu, belanja lain-lain melonjak 28% (Rp102,57 triliun), peningkatan terbesar dalam masa transisi pemerintahan sejak 2004. Pos ini biasanya digunakan untuk keperluan darurat dan program baru pemerintahan. Namun, peningkatannya dalam masa transisi ini jauh lebih besar dibandingkan transisi pemerintahan sebelumnya.
Jika lonjakan pos ini benar digunakan untuk mendanai program baru pemerintahan Prabowo, akan ada indikasi bahwa program tersebut belum direncanakan secara matang dalam APBN 2025 hal ini berisiko bagi stabilitas fiskal negara.
Tim peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI Dalam terbitan terbarunya "Indonesia Economic Outlook Q1 2025", mengulas lebih dalam mengenai hal ini, termasuk analisis terhadap Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Programs Pemerintahan baru. 

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement