JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan ada 61.351 orang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) sejak Januari - April 2025. Data ini berdasarkan catatan KSPN yang dihimpun dari laporan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ristadi mengatakan, memang ada angka PHK yang berbeda dari survei yang dilakukan kalangan lain. Misalnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ada 73.992 ribu orang jadi korban PHK periode Januari - Maret 2025.
Sedangkan klaim BPJS Ketenagakerjaan pada periode Januari - April dilakukan oleh 52 ribu pekerja, klaim ini bisa menjadi indikator bahwa terjadi pemutusan hubungan kerja.
Adapun data dari Kementerian Ketenagakerjaan, justru mencatat data PHK jauh lebih kecil dari survei ketiga tersebut. Kemnaker mencatat korban PHK sejak Januari - Mei 2025 hanya 26.455 pekerja.
“Kami meyakini jumlah PHK yang terjadi jauh lebih besar. Seharusnya pemerintah yang punya kelengkapan infrastruktur di seluruh Indonesia, punya data yang lengkap. Karena data KSPN, kan tidak semua perusahaan menjadi anggota, sedangkan pemerintah punya infrastruktur yang merata,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (30/5/2025).
Ristadi mengatakan, Pemerintah dalam hal ini Kemnaker sebetulnya hanya mendapatkan data laporan PHK dari dinas ketenagakerjaan. Namun masalah yang sering timbul, perusahaan yang melakukan PHK tidak melapor ke Dinas Ketenagakerjaan. Sehingga data PHK di Kemnaker relatif terlihat kecil dibandingkan data KSPN, Apindo, atau klaim BPJS Ketenagakerjaan.
“Fakta di lapangan kami melihat banyak pengusaha, manajemen, ketika PHK atau efisiensi, bahkan pabrik tutup sekalipun, mereka setuju untuk melaporkan, presentasi menjaga kepercayaan pembeli, menjaga citra bisnis, terutama kalau itu bisnis keluarga,” tambahnya.
Ristadi mengatakan, tercatat lebih dari 60 Perusahaan Industri TPT skala menengah dan besar yang telah menelan korban PHK ratusan ribu pekerja. Baik karena perusahaan tutup, ataupun upaya perusahaan melakukan efisiensi. Hingga saat ini perusahaan TPT masih dihantui oleh melemahnya dan mengancam ketertiban/pesanan sehingga mengakibatkan ancaman PHK terhadap pekerja.
Menurutnya, meningkatnya jumlah kemiskinan ini dapat menyebabkan efek domino terhadap perekonomian nasional. Mulai dari meningkatnya angka kemiskinan, memburuknya perekonomian, hingga tingkat kriminalitas yang meningkat.
“Dalam 2 tahun terakhir ini tekanan impor murah dan melemahnya daya beli masyarakat telah membuat industri padat karya khususnya tekstil dan produk tekstil dalam negeri semakin terpuruk,” pungkas Ristadi.
(Taufik Fajar)