JAKARTA — Luas rumah subsidi yang sebelumnya 60 meter persegi kini diusulkan menjadi 25 meter persegi, menuai pro dan kontra. Perubahan tersebut akan diatur oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) melalui penerbitan aturan baru mengenai ketentuan rumah subsidi.
Perubahan ini tertuang dalam draf Keputusan Menteri (Kepmen) PKP tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Dalam draf Kepmen tersebut, untuk jenis Rumah Umum Tapak, luas tanah ditetapkan paling rendah 25 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi. Sementara luas lantai rumah ditetapkan paling rendah 18 meter persegi dan paling tinggi 35 meter persegi.
Berikut fakta-fakta menarik terkait luasan rumah subsidi yang semakin kecil tapi harganya tetap, Minggu (8/6/2025):
Luas tanah rumah tapak umum paling rendah 60 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi. Sedangkan untuk luas lantai rumah paling rendah 21 meter persegi, dan paling tinggi 36 meter persegi.
Namun demikian, dalam draft Permen PKP itu tidak tercatat perubahan soal harga jual rumah subsidi, alias masih menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2024. Berikut rincian harga rumah subsidi:
1. Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Sumatera (kecuali Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai), harga jual maksimal rumah subsidi Rp166 juta
2. Kalimantan (kecuali kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Mahakam Ulu) harga jual rumah subsidi Rp182 juta
3. Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau (kecuali Kepulauan Anambas) harga jual maksimal rumah subsidi Rp173 juta.
4. Maluku, Maluku Utara, Bali, dan Nusa Tenggara, Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Mahakam Ulu harga rumah subsidi maksimal Rp185 juta
5. Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan harga jual rumah subsidi Rp240 juta.
Pengamat properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, menilai perubahan regulasi ini bisa mengancam kelayakan hunian di Indonesia.
Menurutnya, regulasi baru ini justru mendorong kecenderungan pengembang untuk membangun rumah lebih kecil demi menekan harga dan menyediakan lokasi yang lebih dekat ke pusat kota.
Kebijakan ini, kata dia, memang bisa menjadi solusi keterbatasan lahan dan harga tanah yang tinggi, tetapi juga bisa menimbulkan masalah sosial dan hunian di kemudian hari.
"Kecenderungannya memang membangun lebih kecil, tapi apakah pasar akan menerima rumah dengan luasan sekecil itu, masih harus dipertanyakan," ujarnya kepada MNC Portal.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, merespons adanya pro dan kontra terhadap draf Peraturan Menteri tentang batasan luas lahan dan lantai rumah umum tapak.
Menurutnya, pro-kontra adalah hal yang wajar dan ia meyakini bahwa tujuan penyusunan aturan ini sangat baik, yaitu agar semakin banyak masyarakat menerima manfaat tanpa merugikan konsumen.
"Sekarang kan masih tahap masukan. Pro dan kontra itu biasa. Tujuannya kan baik," ujar Maruarar.
Ia juga menegaskan bahwa kementeriannya terbuka terhadap semua masukan, kritik, dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan kebijakan.
Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah, menegaskan bahwa rumah subsidi tetap harus mengikuti standar minimal sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, yakni tipe 36 dan 40, demi menjamin kelayakan dan kesehatan hunian rakyat.
"Secara umum, konsep rumah rakyat harus layak, besar, dan sehat. Karena itu, kita pakai standar tipe 36 dan 40 sebagai batas minimal," kata Fahri.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti rencana pemangkasan luas tanah rumah subsidi.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Dhony Rahajoe memahami alasan pemerintah, terutama jika dibandingkan dengan kota-kota besar di negara maju. Namun, ia mengingatkan soal perbedaan budaya.
Di luar negeri, rumah kecil didukung teknologi tinggi, seperti limbah terkelola, bangunan vertikal, dan furnitur multifungsi. Tapi di Indonesia, budaya kebersamaan keluarga besar masih dominan.
"Apakah rumah 25 meter persegi, meski dengan teknologi dan desain multifungsi, cukup untuk keluarga Indonesia?" tanya Dhony.
Ia menegaskan pentingnya melibatkan banyak elemen dalam menyusun kebijakan agar ekosistem perumahan lebih inklusif dan kontekstual.
(Feby Novalius)