JAKARTA - Fenomena menarik kembali terjadi di kalangan masyarakat kelas menengah di Indonesia. Direktur Utama PT Prodia Widyahusada Tbk (PRDA) Dewi Muliaty mengatakan, saat ini banyak dari mereka yang kembali menggunakan layanan BPJS Kesehatan, setelah sebelumnya cenderung memilih layanan kesehatan swasta.
Menanggapi hal ini, menurut Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman, kembalinya kelas menengah ke BPJS Kesehatan tidak hanya sebagai gejala tekanan daya beli, tapi juga sebagai kombinasi antara faktor ekonomi, kebijakan, dan pergeseran preferensi struktural.
"Tekanan biaya hidup membuat premi asuransi swasta semakin sulit dijangkau, sementara JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) menawarkan cakupan yang luas dengan biaya tetap relatif murah," kata Rizal saat dihubungi Okezone, Jumat (5/9/2025).
"Pada saat yang sama, pemerintah terus memperbaiki kualitas layanan melalui digitalisasi, perluasan jejaring, hingga penerapan KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) yang menyeragamkan standar pelayanan. Situasi ini membuat kelas menengah melihat JKN bukan lagi sebagai pilihan darurat, melainkan sebagai instrumen utama pembiayaan kesehatan," lanjutnya.
Rizal menilai bahwa fenomena ini mengindikasikan adanya perubahan struktural dalam sistem layanan kesehatan nasional. Menurutnya, peningkatan utilisasi JKN, kenaikan klaim, dan konsistensi kepesertaan aktif menandakan bahwa JKN semakin menjadi sandaran utama masyarakat.
Namun demikian, dia mengingatkan bahwa peningkatan ekspektasi dari kelas menengah harus diimbangi dengan penguatan sistem JKN itu sendiri. Rizal menyebut jumlah peserta, rasio aktif terhadap terdaftar, tingkat utilisasi per kapita, kualitas layanan di fasilitas rujukan, hingga pergeseran peran asuransi swasta juga perlu dicermati dengan seksama.
“Konsekuensi logis dari pergeseran ini adalah meningkatnya ekspektasi terhadap mutu layanan, kecepatan akses, dan kenyamanan rawat inap. Jika tidak diimbangi dengan penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), pembaruan tarif INA-CBG, dan implementasi KRIS yang realistis, beban klaim berpotensi menekan fiskal JKN,” tegas Rizal.
Dia menambahkan bahwa sejumlah kebijakan strategis perlu segera dilakukan untuk menjaga keberlanjutan sistem JKN, termasuk peningkatan kolektibilitas iuran, manajemen klaim berbasis Health Technology Assessment (HTA), dan persiapan skema penyesuaian iuran tahun 2026 yang dikomunikasikan secara transparan kepada publik.
"Dengan kata lain, arus balik kelas menengah ke JKN harus dibaca sebagai momentum untuk mendorong peningkatan standar layanan sekaligus menata keberlanjutan pembiayaan. Jika dikelola dengan tata kelola yang ketat, maka justru partisipasi kelas menengah bisa menjadi motor perbaikan mutu. Dimana hal ini memperkuat legitimasi bahwa JKN sebagai sistem kesehatan nasional yang dianggap cukup inklusif dan kompetitif," pungkasnya.
(Dani Jumadil Akhir)