JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan bersama Kepolisian RI (Polri) melakukan operasi gabungan untuk menertibkan ekspor produk minyak sawit, khususnya turunan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Dalam operasi tersebut, aparat menemukan 87 kontainer berisi 1.802 ton fatty matter milik PT MMS yang melanggar ketentuan ekspor.
Produk tersebut awalnya dilaporkan sebagai fatty matter, yakni produk turunan CPO yang tidak termasuk kategori dikenai bea keluar (BK) dan tidak masuk daftar larangan terbatas (lartas) ekspor. Namun, setelah pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan adanya indikasi pelanggaran.
Sebanyak 87 kontainer tersebut diamankan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Rencananya, muatan itu akan diekspor ke China sebelum akhirnya dihentikan oleh petugas.
Menurut Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Djaka Budi Utama, barang yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) senilai Rp28,7 miliar itu ternyata mengandung campuran produk turunan CPO lain. Kondisi tersebut membuat ekspor barang itu berpotensi dikenakan BK dan kewajiban ekspor.
“Selain kasus 87 kontainer ini, DJBC juga melakukan penelitian dugaan pelanggaran kepabeanan di bidang ekspor dengan komoditas serupa atas 200 kontainer dengan berat 4.700 ton dan nilai barang Rp63,5 miliar di Pelabuhan Tanjung Priok, serta 50 kontainer dengan berat 1.044 ton dan nilai Rp14,1 miliar di Pelabuhan Belawan,” kata Djaka dalam konferensi pers di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
“Saat ini tengah dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terhadap PT MMS dan tiga afiliasinya (PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN),” tambahnya.
Djaka menjelaskan, operasi gabungan antara Kemenkeu (DJBC-DJP) dan Satgassus Polri berhasil mengungkap dugaan pelanggaran ekspor produk turunan CPO oleh PT MMS di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Barang diberitahukan sebagai fatty matter, kategori yang tidak dikenakan bea keluar dan tidak termasuk lartas ekspor. Hasil uji laboratorium BLBC dan IPB menunjukkan produk merupakan campuran nabati yang mengandung turunan CPO, sehingga berpotensi terkena bea keluar dan kewajiban ekspor,” ungkap Djaka.
Djaka menambahkan, hasil analisis dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menemukan adanya potensi kerugian penerimaan negara akibat perbedaan harga signifikan antara dokumen ekspor dan barang sebenarnya (underinvoicing).
“Berdasarkan analisis DJP (Ditjen Pajak), ditemukan potensi kerugian pendapatan negara akibat perbedaan harga signifikan antara dokumen tertulis (fatty matter) dan barang sesungguhnya (underinvoicing),” tambahnya.
Penindakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah memperketat pengawasan ekspor sektor sawit, sekaligus menutup celah praktik manipulasi dokumen ekspor yang berpotensi merugikan negara.
(Feby Novalius)