JAKARTA – Gejolak harga emas dunia, logam mulia, serta fluktuasi nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir dipengaruhi faktor geopolitik dan ketidakpastian politik di Amerika Serikat (AS). Indeks dolar AS ditutup di level 99,45, dengan potensi pergerakan di rentang 99,15 hingga 99,90 sepanjang pekan ini.
“Kemungkinan besar support pertama itu di 99,35, kalau melemah support kedua di 99,15. Kalau menguat, resistance pertama di 99,73 dan resistance kedua hampir ke USD100,” kata Pengamat Pasar Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, Minggu (9/11/2025).
Adapun harga emas dunia pada Sabtu pagi tercatat di level USD4.001,30 per troy ounce. Ibrahim memperkirakan pergerakan harga emas global akan berada di kisaran USD3.887–USD4.133 per troy ounce.
“Kalau melemah, support pertama di 3.994 dan support kedua di 3.887. Kalau menguat, resistance pertama di 4.063 dan resistance kedua di USD4.133 per troy ounce,” jelasnya.
Sementara itu, harga logam mulia domestik ditutup di level Rp2.299.000 per gram pada akhir pekan lalu. Menurut Ibrahim, harga logam mulia berpotensi bergerak di kisaran Rp2.200.000–Rp2.390.000 per gram sepanjang pekan depan.
“Kemungkinan dalam transaksi minggu depan itu mentok di Rp2.200.000. Kalau naik, bisa ke Rp2.320.000 di hari Senin dan berpotensi mencapai Rp2.390.000 dalam satu minggu,” ujarnya.
Untuk rupiah, Ibrahim menyebutkan mata uang Garuda ditutup di level Rp16.690 per USD pada Jumat (7/11/2025). Ia memperkirakan pergerakan rupiah dalam sepekan akan berada di rentang Rp16.600–Rp16.800 per USD.
“Kalau melemah, support pertama di 16.670 dan support kedua di 16.600. Kalau menguat, resistance pertama di 16.720 dan resistance kedua di 16.800,” katanya.
Ibrahim menjelaskan, fluktuasi harga emas dan nilai tukar rupiah utamanya dipicu oleh ketidakpastian politik di Amerika Serikat. Ia menyoroti belum tuntasnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pendanaan pemerintahan yang menyebabkan shutdown pemerintahan AS telah berlangsung hingga enam minggu — terlama dalam sejarah negara itu.
“Trump antusias agar RUU pendanaan segera diselesaikan, tapi dalam voting terakhir Partai Republik hanya mendapatkan 53 suara, sementara Demokrat 43. Padahal, untuk memenangkan voting dibutuhkan minimal 60 suara,” ungkapnya.
Kondisi ini menyebabkan sekitar 750 ribu pegawai federal AS tidak menerima gaji, memperburuk situasi ekonomi.
“Karena di Amerika tidak ada ASN atau PNS seperti di Indonesia, semua pegawai federal posisinya seperti pekerja swasta,” imbuhnya.
Ibrahim menilai, kondisi ini berpotensi menekan data tenaga kerja AS dan meningkatkan peluang The Federal Reserve untuk kembali menurunkan suku bunga acuan.
“Kemungkinan Bank Sentral AS akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada Desember, bukan November, sambil menunggu rilis data resmi tenaga kerja dan inflasi,” jelasnya.
Selain itu, ketegangan antara AS dan China turut memperburuk sentimen pasar. Ia menyoroti laporan bahwa Washington berencana memblokir Nvidia dari menjual chip AI ke China, sementara Beijing berniat melarang penggunaan chip asing di pusat data negara.
“Saya anggap pertemuan di KTT ASEAN dan APEC itu hanya sandiwara antara Trump dan Xi Jinping,” ujarnya.
Di sisi lain, perang Rusia-Ukraina juga memicu kenaikan harga emas dunia. Ibrahim mengungkapkan, serangan timbal balik antara kedua negara masih intens, dengan lebih dari 1.200 prajurit Ukraina dilaporkan tewas akibat serangan udara Rusia.
“Ini yang membuat harga emas dunia melonjak dan logam mulia juga naik,” katanya.
Menurutnya, penurunan harga emas justru dimanfaatkan oleh bank sentral global untuk menambah cadangan emas sebagai lindung nilai.
“Ketika harga emas turun, permintaan meningkat sementara pasokan terbatas. Ini yang membuat harga logam mulia kembali naik,” paparnya.
Dari dalam negeri, Ibrahim menilai fundamental ekonomi Indonesia masih cukup baik, ditopang oleh pertumbuhan ekonomi kuartal III-2025 yang mencapai 5,04 persen, di atas ekspektasi analis sebesar 4,7–4,8 persen.
“Ini mengindikasikan ekonomi kita bagus karena banyak belanja pemerintah terutama untuk alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan stimulus konsumsi,” ujarnya.
Namun, menurut Ibrahim, kebijakan pemerintah yang membatasi penyaluran dana dari BI ke bank-bank Himbara agar tidak mengalir ke konglomerat juga berdampak pada pelemahan rupiah.
“Yang menggerakkan pasar itu konglomerat. Ini yang saya anggap salah kaprah, sehingga rupiah kemungkinan besar masih akan bercokol di Rp16.800 per USD,” pungkasnya.
(Feby Novalius)