JAKARTA - Bea keluar biji kakao yang diberlakukan mulai 1 April 2010 mampu mendorong pengembangan industri kakao. Sehingga, nilai tambah dari kakao ini dapat dinikmati di dalam negeri.
"Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2009 volume ekspor kakao olahan 82 ribu ton naik menjadi 178 ribu ton pada 2011. Sedangkan ekspor biji kakao turun dari 439 ribu ton pada 2009, menjadi 210 ribu ton pada 2011," jelas Kementerian Keuangan dalam keterangan tertulisnya kepada Okezone di Jakarta, Rabu (9/5/2012).
Peraturan menteri Keuangan (PMK) nomor 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, menetapkan pengenaan bea keluar atas ekspor biji kakao sejak 1 April 2010. PMK tersebut menetapkan biji kakao dikenakan bea keluar sebesar lima persen, 10 persen, atau 10 persen sesuai tingkatan harga referensi biji kakao di pasaran internasional.
Selain itu, progress positif industri tampak dari peningkatan kapasitas produksi industri domestik meningkat menjadi 280 ribu ton pada 2011 dari 130 ribu ton pada 2009.
Pada 2013 akan mulai beroperasi investasi baru yang dapat meningkatkan kapasitas produksi industri peningkatan kakao hingga mencapai 400 ribu ton pada 2014. Enam perusahaan kembali beroperasi, tiga pabrik menambah kapasitas terpasang, lima pabrik kembali beroprasi secara normal, serta terdapat satu investasi baru dari Malaysia.
Juga terdapat beberapa pabrikan kakao olahan internasional yang mulai membangun pabrik di Indonesia, yakni Barry Callebout dari Swiss yang bekerja sama dengan pabrikan domestik Comextra Majora di Makasar, Archer Daniel Midland Cocoa (ADM Cocoa) dari Singapura, Cargi dari Amerika Serikat (AS), dan JB Cocoa dari Malaysia.
Hal ini sejalan dengan arah pembangunan nasional yang menggerakan sektor agroindustri yang bermanfaat tidak hanya untuk industri yang bersangkutan namun pada gilirannya juga menyentuh pada sektor hulunya yaitu petani kakao itu sendiri.
(Widi Agustian)