JAKARTA - Modal untuk menjadi negara maju, menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan adalah ekonomi makro dan mikro yang terus bertumbuh dengan pesatnya. Pertumbuhan ekonomi di atas enam persen selama delapan tahun terus menerus.
Indonesia, lanjut Dahlan, kini sudah masuk G-20, yang berarti skala ekonomi Indonesia sudah masuk skala ekonomi negara-negara besar 20. Tahun ini sudah meningkat lagi. Bukan lagi 20 besar, tapi sudah 15 besar. Ekonomi Indonesia sudah nomor 15 terbesar di dunia.
Bahkan dengan perkembangan yang terus positif di Indonesia kini sudah ada ekonom terkemuka dunia yang meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi negara besar nomor tujuh dunia.
Dahlan menjelaskan, kalau diamati kehidupan sehari-hari di masyarakat, memang masih banyak orang yang berpikir negatif dan pesimistis. Tapi jumlah mereka sudah lebih kecil dibanding dengan orang yang berpikir positif dan optimistis.
Kenyataan bahwa jumlah orang miskin yang masih sangat besar, masih mencapai 36 juta orang, dan kenyataan bahwa yang sudah tidak lagi miskin juga sudah mencapai jumlah yang sangat besar, sudah 136 juta orang.
"Inilah yang membuat Indonesia masih di persimpangan jalan. Bukan simpang dua, tapi simpang tiga. Indonesia berada di simpang tiga," jelas dalam dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/9/2012).
Indonesia bisa kembali jatuh ke negara miskin. Ini kalau guncangan-guncangan politik dan keamanan tidak terkendali. Tapi, menurut Dahlan, rasanya pilihan ini tidak akan terjadi. Gerakan masyarakat yang sudah kian dewasa akan memaksa kalangan politik untuk juga lebih dewasa.
Gerakan masyarakat yang sudah dewasa akan membuat isu-isu SARA kalah dengan akal sehat. Indonesia bisa naik kelas menjadi negara maju. Uraiannya sudah jelas seperti yang saya sampaikan di atas.
Tapi Indonesia bisa juga menjadi degara yang “macet”: tidak bisa maju tapi juga tidak akan mundur. Kita akan berada dalam keadaan biasa-biasa saja. Ini sama artinya bahwa kita “terjebak” dan “muter-muter” di sini saja.
"Simpang ketiga inilah yang harus kita waspadai. Simpang ketiga inilah yang bisa saja terjadi. Simpang ketiga inilah yang seharusnya memerlukan pemikiran dan langkah-langkah konkrit dari siapa pun agar jangan sampai terjadi," jelas dia.
Lima tahun ke depan adalah masa-masa yang sangat menentukan kita semua. Yakni masa yang akan menentukan apakah kita akan semakin dekat situasi bisa naik kelas, atau masa yang akan menunjukkan bahwa kita hanya akan “muter-muter” di sini-sini saja.
Mahasiswa, yang sekarang berada dalam usia antara 18 tahun sampai 22 tahun, adalah orang yang paling berkepentingan dengan persoalan “simpang ketiga” itu. Kalau simpang ketiga ini tidak dalam dipecahkan dalam lima tahun ke depan ini, maka mereka yang masih mahasiswa sekarang ini yang akan paling rugi.
Tapi kalau persoapan simpang ketiga itu bisa dipecahkan dalam lima tahun ke depan, maka mereka yang masih mahasiswa sekarang ini akan sangat beruntung. Sebab, 10 tahun lagi, para mahasiswa sekarang ini akan mencapai usia yang paling menentukan hidup mereka: usia antara 28 tahun sampai 32 tahun. Inilah usia yang paling prima bagi seorang manusia.
"Kalau persoalan simpang ketiga biga diselesaikan dalam lima tahun ke depan, maka ketika mahasiswa sekarang ini berusia sekitar 30 tahun itu, Indonesia berada dalam tingkat ekonomi yang sudah sangat besar. Sudah menjafi negara terbesar ke 10 atau bahkan lebih baik lagi. Persoalan “simpang ketiga”, alangkah menantangnya untuk diselesaikan!" tegas Dahlan.
(Widi Agustian)