JAKARTA - Pengawasan di bidang ketenagakerjaan selama ini terkendala oleh sekat-sekat kebijakan otonomi daerah. Untuk itu, pelaksanaan tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan di Indonesia sebaiknya dikembalikan dalam suatu sistem sentralistik.
"Sistem sentralistik dalam pengawasan ketenagakerjaan dibutuhkan agar pelaksanaan fungsi pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah menjadi independen, terpadu, terkoordinasi dan terintegrasi,"kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Kantor Kemenakertrans, Jakarta, Selasa (9/4/2013).
"Sistem sentralistik akan menciptakan sinergisitas kinerja pengawasan ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah yang lebih efektif dan optimal," ujarnya.
Muhaimin menilai upaya untuk memberlakukan kembali system sentralistik dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia merupakan hasil pembahasan Kemnakertrans dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
"Kinerja pengawasan ketenagakerjaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota selama ini masih terlihat lemah dan kurang optimal. Apalagi ditambah tidak merata dan masih terbatasnya kualitas dan kuantitas petugas pengawas ketenagakerjaan di daerah-daerah," jelasnya.
Muhaimin mengakui bahwa saat ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan telah diserahkan oleh Presiden kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
"Ternyata belum semua daerah mampu melaksanakan urusan wajib ketenagakerjaan itu secara optimal. Salah satu indikatornya pelaksanaan kegiatan pengawasan ketenagakerjaan belum mampu mencapai standar pelayanan minimal (SPM)," tutur Muhaimin.
Padahal, kata Muhaimin pengawasan ketenagakerjaan merupakan perangkat terpenting dalam sebuah negara untuk memastikan pelaksanaan peraturan di bidang ketenagakerjaan seperti hubungan industrial, pelaksanaan outsourcing dan upah minimum, kondisi kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta jaminan sosial.
Penerapan prinsip otonomi daerah secara berlebihan yang menimbulkan egoisme kewenangan daerah menjadi satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia.
Lebih lanjut Muhaimin menjelaskan selama ini Pengawas Ketenagakerjaan yang diangkat oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah PNS Daerah yang dalam operasional dibawah kendali dan kebijakan bupati/wali kota. Terkadang hal ini menyebabkan upaya penegakan hukum bidang ketenagakerjaan akan mengalami kesulitan dan tidak independen.
"Pengawas Ketenagakerjaan juga mengalami kendala dalam meniti jenjang karir sebagai pejabat fungsional. Masih sangat sedikit daerah yang menempatkan Pengawas Ketenagakerjaan ke dalam jabatan fungsional, sehingga kemungkinan dipindah tugaskan dan beralih fungsi," tukasnya.
Untuk menganggulangi masalah ini, kata Muhaimin salah satu alternatif solusi solusi Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.21/2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan.Dalam peraturan tersebut, pengawas ketenagakerjaan yang ada di Dinas tingkat provinsi, kabupaten/kota wajib memberikan laporan mengenai pengawasan ketenagakerjaan ke pemerintah pusat.
"Ini yang harus segera disosialisasikan kepada seluruh Dinas Tenaga Kerja seluruh Indonesia. Dengan sistem baru ini, nantinya diharapkan dapat memperbaiki sinergi dan koordinasi pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan, yang selama ini terputus sejak otonomi daerah," pungkasnya. (wan)
(Widi Agustian)