JAKARTA - Akademisi dan daerah menolak perpanjangan moratorium izin lahan gambut. Sebab penerapan moratorium ini tak menguntungkan secara ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Ahli ilmu tanah dan sumber daya lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Basuki Sumawinata mengatakan, pemerintah perlu memilah lagi lahan mana yang perlu dimoratorium dan dibuka perizinannya untuk pertanian atau perkebunan.
“Kalau lahan primer tidak ada keraguan untuk terus diperpanjang, namun untuk lahan gambut masih bisa dipakai untuk produksi,” katanya di Jakarta, Senin (13/5/2013).
Basuki berani mengatakan itu karena dari hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukannya, ternyata pembukaan lahan gambut, jika dilakukan menggunakan teknik yang benar tidak mengeluarkan karbon sebesar yang ditakutkan oleh masyarakat internasional.
Apalagi menurutnya, waktu dua tahun seharusnya sudah bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatur dan memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut.
“Bukan membiarkan atau tidak memanfaatkan sama sekali. Kita akan tertinggal jika seperti itu. Dalam dua tahun malah belum ada titik terang, lahan gambut kita mau diapakan,” katanya.
Seperti diketahui, moratorium izin yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut itu akan berakhir 20 Mei 2013 mendatang.
Jika moratorium izin lahan gambut tetap diberlakukan, Basuki khawatir, pembangunan perkebunan Indonesia akan tertinggal dibanding negara lain. Hal itu tentu akan merugikan Indonesia sendiri, yang saat ini banyak memperoleh devisa, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja dari sektor perkebunan. “Jika terus dimoratorium, kapan dibangunnya. Kita butuh makan,” katanya.
Tidak adil juga bagi Indonesia, jika terus membiarkan potensi lahannya tanpa pengelolaan yang baik. Sedangkan negara lain terus mengeksploitasi lahannya untuk perkebunan ataupun sektor ekonomi yang lain.
Dia mengungkapkan, saat ini lahan gambut di Indonesia mencapai sekitar 14 juta hektare (ha) atau sekira 10 persen lahan daratan Indonesia. Jika dari jumlah itu yang dipakai untuk produksi sebesar tiga juta ha, maka akan ada potensi ekonomi besar yang bisa dimanfaatkan.
Menurutnya pengelolaan lahan gambut memang ada yang gagal, namun banyak juga yang berhasil. Apalagi saat ini teknologi semakin maju, sehingga bisa diterapkan untuk mengelola lahan gambut tanpa merusak alam bahkan bisa menjadi alternatif pengelolaan lingkungan dan penyerapan karbon.
Namun, menurut Basuki, untuk bisa mengelola lahan gambut dengan baik diperlukan modal yang tidak sedikit. Sebab, teknologi yang dipakai juga bukan teknologi murah yang bisa dilakukan oleh petani kecil.
Berkaca pada pengelolaan lahan gambut dahulu, kegagalan terjadi karena pemanfaatan lahan gambut semua diserahkan ke petani kecil tanpa koordinasi yang baik. Kegagalan pemanfaatan lahan gambut, seperti proyek gambut satu juta ha, adalah alasan mengapa banyak pihak kemudian sangsi jika lahan gambut bisa dimanfaatkan dengan baik. Kegagalan itu juga menjadi senjata bagi LSM asing dan peneliti asing untuk mendorong moratorium lahan gambut.
Ketersediaan lahan yang terus menipis juga menjadi alasan pemerintah untuk membuka moratorium izin di lahan gambut. Menurut Basuki, dengan pertambahan penduduk yang terus melejit dan terus berkurangnya lahan sawah mencapai 100 ribu ha per tahun, memerlukan solusi berupa penambahan lahan baru. “Jika terus takut, kapan majunya,” katanya.
Basuki mengaku, dari awal dirinya memang tidak yakin dengan moratorium ini. Apalagi sampai sekarang janji dana sebesar USD1 miliar tidak kunjung diberikan sebagai prasyarat adanya moratorium. Saat ini yang baru diterima Pemerintah Indonesia hanya sekitar USD30 juta.
“Gambut apakah mengemisikan karbon dalam jumlah besar, saya tidak yakin. Yang penting dikelola dengan baik dan jangan dibakar,” katanya.
Dia menjelaskan, jika air tidak dikontrol dengan baik, maka bisa jadi gambut akan menipis dan rusak setelah sekian lama, sekira 10 tahun dimanfaatkan untuk perkebunan atau pertanian. Namun dengan manajemen air yang baik, maka dari pengalaman yang sudah dibuktikan oleh Basuki, gambut akan terpelihara dengan bagus.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara, Darmayanti Lubis juga sependapat dengan Basuki. Menurut Darmayanti, perpanjangan moratorium akan membuat produksi perkebunan menurun. Hal itu tentu akan berdampak pada ekonomi di daerah dan penyerapan tenaga kerja.
“Jika kajiannya belum jelas apakah merusak lingkungan atau tidak dan ada pro kontra, jangan ada keputusan dahulu,” katanya.
Darmayanti khawatir, moratorium akan membuat masalah tenaga kerja di daerah. Sebab, selama ini sektor perkebunan banyak menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja. “Ada potential lost yang besar di sektor ketenagakerjaan,” katanya.
Perkebunan terutama sawit memang banyak menyerap tenaga kerja. Sebelum moratorium diterbitkan pembukaan lahan perkebunan baru untuk tiap tahun mencapai sekira 200 ribu ha. Dari pembukaan lahan itu, potensi produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mencapai 800 ribu ton sampai satu juta ton per tahun.
Pembukaan lahan perkebunan baru sebesar itu juga mampu menyerap 40 ribu tenaga kerja setahun. Karena kalau tidak ada moratorium pencetakan lapangan kerja bisa mencapai 80 ribu orang. Begitu juga sekira 20 ribu calon petani plasma kehilangan kesempatan mendapatkan kebun plasma. Karena kalau tidak ada moratorium, petani plasma yang mendapatkan kebun bisa mencapai 40 ribu orang.
Dengan moratorium, maka potensi investasi ke daerah juga terhenti. Jika untuk pembukaan lahan perkebunan sawit diperlukan dana Rp70 juta per ha, maka untuk 200 ribu ha lahan baru diperlukan investasi sekira Rp14 triliun. Belum lagi jika kemudian perusahaan membangun infrastruktur di daerah.
(Widi Agustian)