JAKARTA - Industri kakao di Indonesia dinilai mengalami peningkatan kapasitas produksi yang cukup signifikan. Apalagi, Bea Keluar (BK) atas ekspor biji kakao diberlakukan sejak 1 April 2010 lalu, telah mendorong berkembangnya industri hilir Indonesia.
"Kebijakan BK saya kira cukup berhasil, karena ini terbukti telah mengembangkan industri hilir. Salah satu contohnya dapat dilihat dengan berdirinya enam pabrik pengolahan kakao yang baru dengan kapasitas total 430 ribu ton per tahun," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (16/6//2013).
Selain itu, tambah dia, telah terjadi peningkatan kapasitas industri sekira 87 persen. Hal ini dikarenakan adanya beberapa industri, yang sebelumnya berhenti berproduksi, kembali beroperasi.
Gita juga menambahkan, pada penerapan BK juga telah membuka peluang yang lebih besar kepada para petani kakao karena dapat menjual produknya yakni biji kakao. Sementara untuk menjualnya petani tidak hanya menjual kepada para pedagang atau eksportir, melainkan juga kepada industri pengolahan kakao dalam negeri.
Lebih lanjut Mendag mengungkapkan, Indonesia tidak perlu khawatir jika investor asing masuk. Sebab, ini tidak akan mempengaruhi industri kakao yang sudah ada karena menurutnya, pangsa pasarnya berbeda.
"Beberapa investor asing seperti Cargill, ADM dan JB Cocoa memproduksi kakao olahan kelas premium untuk pasar di Eropa. Sedangkan industri yang sudah ada di Indonesia umumnya memproduksi kakao olahan kelas menengah untuk pasar di negara-negara berkembang," tukasnya.
Ia menuturkan, perkembangan industri hilir ini juga telah ditandai dengan rencana ekspansi PT Nestle Indonesia atas pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan Karawang.