JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak implementasi kebijakan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 yang mengharuskan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri yakni peraturan menteri keuangan (PMK) No.6 Tahun 2014 yang mengatur bea keluar (BK).
"Dalam PMK tersebut ada aturan BK sebesar 20-60 persen bagi yang melakukan ekspor mineral sesuai kadarnya. Itu sangat memberatkan, merugikan dan irasional," ucap Ketua Satgas Hilirisasi Mineral Kadin, Didie W Soewondho di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (5/2/2014).
Didie menilai, penyusunan PMK ini tidak memperhatikan asas-asas seperti kejelasan tujuan, keterbukaan dan dapat dilaksanakan yang telah diatur dalam UU No.12 Tahun 2011
Karenanya, dia meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali besaran BK dengan memperhatikan struktur biaya dan profit margin perusahaan tambang, lalu memahami proses, teknologi, pengusahaan dan kapitalisasi industri tambang.
"Lalu menganalisa beban pajak dan non-pajak yang masih tumpang tindih masih adanya ekonomi biaya tinggi, masih banyaknya beban-beban pungutan liar dan korupsi secara komprehensif," paparnya.
Menurutnya, pemberlakuan PMK ini menimbulkan tantangan yang luar biasa meliputi terjadi jutaan PHK masif yang diiringi masalah sosial baru, penurunan triliunan Rupiah penerimaan negara dan daerah, memburuknya kondisi ekonomi dan sosial kabupaten-kabupaten yang PDRBnya tergantung pada kegiatan tambang.
Selain itu, hal ini akan menekan neraca perdagangan dan pelemahan nilai tukar Rupiah, kredit macet industri tambang dan industri pendukungnya, lalu terhentinya berbagai industri hilir terkait produk tambang, menurunnya kegiatan industri pendukungnya misal penerbangan, hotel, restoran, penyediaan transportasi.
"Serta perusahaan tambang akan menerima tuntutan atas ingkar janji kontrak dan keterlambatan dan akan terjadi kerusakan struktur tambang yang memerlukan biaya besar untuk pemulihannya," pungkasnya.
(Martin Bagya Kertiyasa)