Menurut Halim, ada dua penyebab utama nilai tukar Rupiah menyentuh level terparah sejak krisis moneter (krismon) yang terjadi pada 1998. Penyebab itu datang dari sentimen global.
"Itu lebih karena isu sentimen dari luar negeri, terutama karena pernyataan Gubernur Bank Sentral AS bahwa melihat posisi domestik AS yang sudah mulai recover dan beberapa indikator terkait inflasi sudah mulai naik," terang Halim di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/6/2015).
Halim menambahkan, dengan keadaan tersebut, mereka memberikan sinyal bahwa bank sentral AS mungkin siap-siap untuk menaikkan tingkat suku bunga.
"Kedua karena negosiasi utang Yunani enggak begitu bagus. Enggak diperpanjang," paparnya.
Di dalam negeri sendiri, lanjut Halim mengungkapkan, faktor inflasi juga menjadi penyebab lainnya yang melemahkan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.
"Lalu di dalam Indonesia sendiri, inflasi 0,50 persen itu membuat khawatir. Jadi ada kombinasi seperti itu. Ditambah permintaan dolar AS akhir bulan Mei memang tinggi," tukasnya.
(Rizkie Fauzian)