JAKARTA - Setelah diterbitkan beberapa waktu lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mulai menyosialisasikan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan anggota keluarganya. Sosialisasi dilakukan kepada para pekerja dan pihak-pihak terkait.
"Keputusan pemerintah RI untuk menandatangani konvensi tersebut dimaksudkan merefleksikan komitmen kuat Pemerintah terhadap pemajuan nilai-nilai Hak Asasi Manusia termasuk didalamnya hak pekerja migran," kata Menakertrans Muhaimin Iskandar, saat sosialisasi yang diselenggarakan Gabungan Aliansi Rakyat Daerah untuk Buruh Migran Indonesia (Garda BMI), di Jakarta, Senin (6/8/2012).
Setidaknya, kata Muhaimin, ada tiga alasan mendasar perlunya ratifikasi konvensi ini yaitu mempertegas komitmen Indonesia bagi peningkatan perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia, terutama hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya.
"Kedua, memperkuat landasan hukum bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan sistem perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi tenaga kerja migran dan anggota keluarganya," ujarnya.
Ketiga, memperkuat mekanisme perlindungan tenaga kerja migran dan penataan manajemen migrasi, baik bilateral maupun multilateral, agar pekerja migran Indonesia dapat menikmati perlindungan dan haknya dengan lebih baik, mulai dari tahap pra penempatan, selama penempatan di luar negeri maupun pasca penempatan.
Di sisi lain, ratifikasi konvensi ini tentunya akan melahirkan sebuah kewajiban, antara lain untuk melakukan upaya harmonisasi hukum nasional, terutama yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan tenaga kerja migran Indonesia dan keluarganya, agar sesuai dengan standar hak asasi pekerja migran sebagaimana diatur dalam Konvensi.
"Isi Konvensi ini akan menjadi acuan untuk menciptakan dan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut tenaga kerja Indonesia," jelasnya.
Pada tingkat nasional, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup lengkap dan komprehensif. Meskipun tentunya masih terdapat ruang untuk terus memperbaikinya.
Saat ini Revisi mengenai Undang-Undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri sedang dilakukan pembahasan di DPR, sebagai upaya harmonisasi setelah pengesahan Konvensi ini. Jika tidak ada kendala yang berarti, akhir tahun ini akan ditetapkan Revisi atas UU 39 tahun 2004 tersebut.
Muhaimin mengatakan, keputusan untuk meratifikasi Konvensi ini merupakan bagian dari perwujudan tanggung jawab negara untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap pekerja migrant Indonesia. Kandungan Konvensi ini selaras dengan komitmen nasional Indonesia bagi pemajuan dan perlindungan HAM.
"Hal tersebut yang mendasari pemerintah untuk meratifikasi Konvensi dengan dimaksud guna menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia. Pengesahan Konvensi ini merupakan langkah terobosan di tingkat global untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja migran dan keluarganya," paparnya.
Dikatakan Muhaimin, konvensi ini merupakan satu-satunya instrumen HAM internasional yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya secara komprehensif.
"Konvensi ini pula memberikan kerangka perlindungan minimum bagi tenaga kerja migran dalam berbagai kategori beserta keluarganya, untuk semua tahapan, baik pada saat pra keberangkatan, masa bekerja di luar negeri dan purna penempatan," kata Muhaimin.
Di masa mendatang, tambah dia kedudukan Konvensi Pekerja Migran ini di tatanan masyarakat internasional akan terus menguat dengan meningkatnya kesadaran global akan pentingnya Konvensi ini bagi perlindungan tenaga kerja migran dan anggota keluarganya, seiring dengan besarnya jumlah orang bekerja di luar negeri.
Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990. Hingga saat ini, Konvensi Pekerja Migran telah diratifikasi oleh sejumlah 46 negara, termasuk Indonesia.
Setelah meratifikasi Konvensi Indonesia wajib untuk menyampaikan laporan implementasi Konvensi kepada Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
"Sesuai ketentuan Konvensi, laporan akan disampaikan setahun setelah ratifikasi dan selanjutnya setiap lima tahun sekali dan jika Komite memintanya," pungkasnya.