Koalisi Anti Mafia Tambang (Kiamat) mengemukan, sektor pertambangan dinilai paling korup di negeri ini. Indikasi korupsi ditunjukan dengan ditemukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bermasalah, seperti tidak Clear and Clean (CnC), tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), perusahaan fiktif, dan berada di kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung.
Koordinator Kiamat sekaligus juru bicara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Budi Nugroho, mengemukakan potensi kehilangan penerimaan negara dari sektor tambang sebagai akibat dari IUP bermasalah mencapai Rp4 triliun, terdiri Rp931 miliar dari land rent (iuran tetap) dan Rp3,1 triliun dari kurang bayar royalti 4.725 IUP dari tahun 2010 hingga 2013.
"Kalimantan merupakan wilayah terbesar yang potensi kehilangan penerimaan negari dari land rent mencapai Rp574,9 miliar dan Rp2,3 triliun dari kurang bayar royalti," kata Budi Nugroho, Selasa (9/12/2014).
Untuk Sumatera dari land rent sebesar Rp186,7 miliar dan Rp510,7 miliar dari royalti. Sedangkan untuk Sulawesi dan Maluku Utara, kerugian negara mencapai Rp169,5 miliar untuk land rent dan Rp226 miliar untuk royalti.
"Tim koalisi (Kiamat) temukan permasalahan dalam pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang mengarah pada indikasi korupsi. Ada empat poin catatan kami," katanya.
Pertama, 42 persen pemegang IUP di 13 Provinsi atau sebanyak 3.063 pertambangan dari 7.376 pertambangan tidak Clean and Clear. Kedua, 30 persen IUP atau sebanyak 548 IUP berada di kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung.
Padahal, UU No 41/1999 dan UU No 5/1999 kawasan Hutan Konservasi dan Lindung tidak boleh ada pertambangan, sehingga jelas menabrak aturan perundangan. "Provinsi Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur yang memberi IUP di kawasan Hutan Konservasi," jelasnya.
Ketiga, 93 persen pemegang IUP tidak menempatkan dana jaminan reklamasi ke Pemerintah Daerah. Bahkan, 99 persen IUP tidak menempatkan dana jaminan pasca penambangan.
"Berdasar PP No 78/2010 dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang harus diserahkan enam bulan sebelum kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan," imbuhnya.
Terakhir, CnC sama sekali belum mempertimbangan aspek keselamatan warga sekitar, di Kaltim misalnya, ada empat perusahaan tambang yang menewaskan delapan anak di bekas lubang tambang selama 2011-2014.
Musibah itu belum termasuk bencana alam seperti banjir dan longsor. "Yang mencengankan, kita temuan bahwa 50 persen dari total IUP tidak memiliki NPWP. Itu sama artinya separo perusahaan tambang tanpa membayar pajak," ujarnya.
Kerugian itu hanya pada 13 provinsi yang dikaji, mulai dari Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengara, dan Maluku Utara. Belum lagi wilayah lain di Indonesia Timur seperti Papua.
(Martin Bagya Kertiyasa)