Frederik Thomassen, Anak Rantau yang Berjuang Kembangkan e-Commerce

Danang Sugianto, Jurnalis
Rabu 15 April 2015 12:40 WIB
CEO Zalora Frederik Thomassen. (Foto: Okezone/Heru)
Share :

JAKARTA - Masyarakat Indonesia mulai memasuki derasnya arus modernisasi yang bertumpu pada perkembangan internet dan teknologi. Akibatnya, hampir semua dilakukan tanpa harus bertemu fisik. Contoh saja rapat yang dilakukan via internet menggunakan web camera, bahkan untuk melaporkan pajak pun tidak perlu mampir ke gedung pajak. Semua itu bisa dilakukan sambil duduk.

 

Hampir seluruh industri memanfaatkan momentum ini untuk memacu pendapatan mereka, berlomba-lomba menjadi nomor satu yang menerapkan inovasi berbasis teknologi online. Dari kesemua industri tersebut, ada satu yang paling menonjol yakni industri belanja. Memanfaatkan sifat konsumtif namun minim waktu dari masyarakat Indonesia, industri belanja online tumbuh sangat pesat.

 

Zalora, salah satu perusahaan yang ikut berebut potensi menggiurkan belanja online. Berbasis fasyen, Zalora mampu membuktikan dia harus diperhitungkan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang belanja online, setelah dalam tiga tahun terakhir tumbuh double digit setiap bulannya. Adalah Frederik Thomassen, anak rantau di balik Zalora yang berhasil menjaga kesuksesan tersebut.

 

Frederik yang merantau dari Norwegia ke Indonesia ini, mengaku sangat bersemangat untuk memajukan belanja online di Indonesia lewat Zalora. Kepada Okezone, dia mengungkapkan sangat termotivasi oleh tingkat pertumbuhan internet di Indonesia.

 

"Bisnis ini sangat menantang dan pekerjaan ini memakan hampir seluruh waktu yang saya punya. Seluruh waktu saya hanya memikirkan Zalora, bagaimana memuatnya menjadi lebih baik, bagaimana menjual dengan harga yang murah," kata dia.

 

"Ketika saya bangun di pagi hari, yang pertama saya cek adalah Zalora. Bagaimana penjualan kita semalaman, siapa dan dari mana saja pembelinya. Jadi saya sangat terobsesi," tambah dia.

 

Sebenarnya, kedatangannya ke Indonesia untuk memulai bisnis ini termasuk gambling. Bagaimana tidak, ketika ditanyakan seberapa besar pasarnya dalam industri belanja online dan seberapa cepat pertumbuhannya, dia masih belum bisa mengukurnya. "Jawabannya adalah tidak ada yang tahu akan hal itu," kata dia.

 

"Tapi yang kita tahu, pasar di sini cukup besar untuk banyak perusahaan. Dan ini juga cukup besar untuk kami tumbuh, sangat sustainable, double digit rate setiap bulan. Jadi ini cukup besar," tegas dia.

 


Lebih Pilih Indonesia

 

Frederik mengungkapkan, pertumbuhan internet Indonesia memang tidak secepat Jepang atau Korea Selatan yang mencapai 90 persen lebih. Namun, hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak mencapai pertumbuhan yang tinggi.

 

"Fundamental pemikirannya bukan melihat Indonesia memiliki tingkat internet yang lebih rendah, sehingga menjadikan pertumbuhan e-commerce jadi melambat, tapi seberapa besar kemampuan penetrasi pasar belanja online untuk peningkatannya," kata dia.

 

Dari kacamatanya, peningkatan belanja online di Indonesia memang sangat cepat karena memiliki beberapa penetrasi, seperti pertumbuhan layanan internet, jaringan mobile, dan juga ekosistem logistik. "Tapi kesadaran konsumer adanya e-commerce itulah yang membuat pertumbuhannya lebih cepat," ungkap pria yang belum genap 30 tahun ini.

 

Meski sudah cukup sukses, namun dia masih belum puas dengan apa yang diraih Zalora saat ini. Bagi pria penggemar surfing ini, tidak ada garis finis dalam perjuangannya. Dia menambahkan, meski sudah menjadi market leader di e-commerce fashion, namun bagi dia masih ada langit di atas langit.

 

"Seperti Alibaba mereka bisa terus tumbuh selama 10 tahun. Kami pikir Zalora berarti juga masih bisa tumbuh. Jadi sampai saat ini kita terus melakukan yang terbaik dengan terus menambah produk berkualitas dengan harga yang terjangkau," tutur dia.

 

Akan tetapi, pengembangan industri belanja online ini bukan tanpa hambatan. Putaran mesin industri online saat ini masih belum dibarengi dengan elemen-elemen pendukung lainnya, seperti di sektor pembayaran. "Kita tahu kartu kredit pertumbuhannya sangat lambat di sini, mobile payment juga lambat, dan tidak ada infrastruktur pembayaran yang baik," ujar dia.

 

"Kalau di Amerika ada Paypall, semua orang tahu dan memilikinya, dan itu sangat bagus untuk e-commerce. Di Indonesia, tidak ada semacam Paypall seperti itu. Untuk menggeluti e-commerce itu salah satu tantangan buat kami. Yang kita lakukan adalah mencoba membangun kepercayaan masyarakat melalui COD (cash on delivery)," tukas dia.


(Martin Bagya Kertiyasa)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya